Putusan Praperadilan Terhadap Sah/Tidaknya Penangkapan
A.Pengertian
Pengertian atau defenisi sebuah peristilahan penting diuraikan, oleh karena akan menjadi dasar dan kerangka acuan untuk memperjelas suatu permasalahan, mengkonkretkan sebuah proposisi. Walaupun terkadang defenisi yang diberikan tidak mampu mencakup atau menjelaskan secara kompherensif sebuah terminologi. Minimal akan menjadi pembeda atas setiap istilah yang saling berkaitan. Atau istilah tersebut akan kelihatan klasifikasi penggunaanya dalam menyusun skema pernyataan yang logis.
Pengertian yang akan dijelaskan kemudian sebagai pokok-pokok dasar yang akan menjadi bahan telaah atas setiap peristilahan yang akan dipergunakan dalam penerapan hukum formil. Istilah tersebut juga erat kaitannya dengan judul yang diangkat, diantaranya praperadilan, penangkapan, dan putusan pengadilan.
1.Praperadilan
Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi.
Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadiln tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure). Bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.
Menurut Hamzah (2006: 183) “menitik beratkan praperadilan sebagai pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim terhadap kewenangan kepolisian dan kejaksaan.” Namun yang terjadi di Eropa seperti Prancis pemeriksaan pendahuluan yang dimaksud tidak hanya pada tindakan tidak sahnya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, namun hakim ikut serta melakukan pemeriksaan pendahuluan, apakah tindak pidana tersebut layak masuk sebagai objek/ kompetensi pengadilan atau tidak?
Negara indonesia, yang menentukan layaknya sebuah perkara oleh pelaku tindak pidana untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah kepolisian dan kejaksaan setelah memenuhi unsur dan alat pembuktian.
Menurut Yahya Harahap (2002 b: 1) praperadilan merupakan lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:
1. Berada dan merupakam kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, yang hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak pernah terpisah dari Pengadilan Negeri.
2. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi Pengadilan Negeri.
3. Adminitrasi yustisial, personil, peralatan, dan finansial baru bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri.
4. Tata laksanan yustisiallnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Eksistensi dan kehadiran lembaga praperadilan, yakni sebagai lembaga yang berwenang dan berfungsi mengadili atau menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan. Keberadan lembaga praperadilan, untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal (vide: Pasal 80 KUHAP). Jadi praperadilan adalah sebagai sarana pengendali dan pengawas atas tindakan institusi kepolisian dan kejaksaan terhadap kesalahan dalam tindakan penyidikan/ proses penuntutan (dalam penangkapan, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan). Kesalahan itu baik berupa undue process of law ataukah terjadi eror in persona dalam penangkapan/ penahanan.
2. Penangkapan
Penangkapan merupakan pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang. Tapi harus diingat, semua tindakan penyidik yang bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan pembatasan hak asasi seseorang, adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pad proporsi untuk kepentingan pemeriksaan, dan benar-benar sangat diperlukan sekali. Jangan disalahgunakan dengan cara yang terlampau murah, sehingga setiap langkah tindakan yang dilakukan oleh penyidik, langsung menjurus ke arah penangkapan.
Namun, penangkapan yang dilakukan dalam proses penyidikan harus tetap menghormati asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence). Penerapan asas praduga tak bersalah tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Oleh sebab itu tindakan penangkapan sebagai pengekangan hak seseorang yang juga tetap menjamin pelaksaan hak asasi tersangka. Tersangka tetap memiliki hak untuk diperlakukan wajar dan manusiawi. Tersangka memiliki hak untuk melakukan praperadilan atas sah/ tidaknya penangkapan.
Pasal 1 butir 20 menegaskan “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (baca: KUHAP).”
Dari rumusan tersebut maka penangkapan terdiri dari unsur-unsur:
a. Pengekangan sementara waktu kebebasan.
b. Tersangka atau terdakwa.
c. Terdapat cukup bukti.
d. Guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Dari unsur di atas perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Adapun yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana ditegaskan dalam SK Kapolri Nomor Polisi SKEP/ 04/ I/ 1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua dari hal-hal berikut:
a. Laporan polisi.
b. Berita acara pemeriksaan polisi.
c. Laporan hasil penyelidikan.
d. Keterangan saksi/ saksi ahli.
e. Barang bukti.
Pengertian penangkapan yang ditegaskan dalam Pasal 1 butir 20 mendapat koreksi dari Hamzah (2008: 128) yang mengemukakan:
“Kalau definisi ini dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur tentang Penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16 menegaskan untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Tidak cocok karena bukan saja penyidik (menurut defenisi) tetapi juga penyelidik, dapat melakukan penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk kepentingan penyidik tetapi juga untuk kepentingan penyelidik.”
Sejalan dengan pendapat di atas, kalau diperhatikan rumusan Pasal 16 ini menghendaki bahwa penangkapan murni merupakan kewenangan penyidik untuk kepentingan penyidikan. Tetapi menjadi tidak pasti ketika penyelidikpun mendapatkan kewenangan untuk melakukan penangkapan demi kepentingan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, yaitu tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Jelas pada tahapan ini status seseorang yang terkait dengan peristiwa pidana belum menjadi tersangka. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP yang boleh ditangkap adalah “tersangka”.
Bila memperhatikan Pasal 17 KUHAP mengenai alasan penangkapan yaitu; seorang tersangka di duga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Maka Penangkapan dalam tahap penyelidikan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan asas presumption of innocente (paraduga tidak bersalah). Sebab penangkapan ini merupakan pengekangan kebebasan manusia yang salah dengan dasar hukum yang keliru.
3. Putusan pengadilan
Bentuk putusan pengadilan dengan hukum acara biasa berbeda dengan bentuk peutusan pada permohonan praperadilan. Pada permohonan praperadilan tidak ada pengajuan dakwaan oleh jaksa atas kesalahan siterdakwa sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 134 ayat 2. Permohonan praperadilan justru karena disebut permohonan maka hasil akhirnya selayaknya seperti gugatan yang sifatnya expartee dalam hukum acara perdata yang dibuatkan penetapan oleh hakim.
Proses pemeriksaan sidang praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat mengacu pada ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf c. Pemeriksaan dengan acara cepat dalam perbuatan tindak pidana (baca: delik) ringan dan pelanggaran lalu lintas sering kali juga ditemui dengan menggunakan hakim tunggal (lih: chazawi, 2006: 137-138). Bentuk putusan praperadilan di sini, putusan yakni disatukan dengan berita acara.
Bagaimana dengan arti putusan itu sendiri. Apalah putusan praperadilan sejalan dengan putusan pengadilan dalam acara biasa ataukah sejalan dengan pengertian putusan dalam hukum acara perdata? Defenisi putusan sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Manan (2006: 291-292) sebagai berikut:
1. Hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk tulisan maupun lisan (Hamzah, 1986: 145).
2. Suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara (Sudikno Mertokusuko, 1988: 167-168).
3. Kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Manan: 2006).
Sedangkan pengertian putusan pengadilan dalam kaitannya dengan putusan praperadilan tidak cocok diterapkan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yakni ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Oleh karena dalam putusan praperadilan tidak ada amar putusan pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tunrtutan hukum.
Dalam putusan (penetapan) praperadilan dikenal sah atau tidaknya penangkapan atau penahan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, perintah pembebasan dari tahanan, perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan, besarnya ganti kerugian, berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka, memerintahkan segera mengembalikan sitaan.
Artinya, isi dari amar penetapan pada permohonan, lebih sesuai dengan pembagian jenis-jenis putusan berdasarkan sifatnya. Diantaranya putusan deklaratoir, putusan condemnatoir, dan putusan konstitutif. Bahkan menurut Yahya Harahap (2006: 18) mengemukakan bahwa ‘putusan praperadilam memang mirip dalam acara perdata. Putusan praperadilan bersifat deklarator yang berisi pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan.”
Namun tanpa mengurangi sifat dari putusan praperadilan yang kelihatannya bersifat kondemnatoir seperti dalam putusan ganti rugi, perintah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabilah penahan dinyatakan tidak sah. Atau perintah yang menyuruh penyidk untuk melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah. Maupun perintah untuk melanjutkan penuntutan apabila penghentian penuntutan tidak sah.
B. Alasan dan Syarat-Syarat Penangkapan
Agar tidak terjadi kekacauan istilah anatara syarat dan wewenang. Terutama dalam menguraikan alasan dan syarat penangkapan sebagaimana dalam literatur hukum acara pidana sebagai ketentuan prosedur penangkapan. Oleh karena dalam setiap pembahasan masalah penangkapan selalu saja dipersamakan antara syarat dan penangkapan, seperti dalam tulisan Yahya Harahap (2002a: 185). Makanya penting untuk membedakan antara terminologi syarat dan alasan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 984) syarat berarti antara lain:
a. Janji (sebagai tuntutan yang harus dipenuhi).
b. Segala sesuatu yang perlu atau harus ada (sedia, dimiliki).
c. Segala sesuatu yang perlu untuk menyampaikan maksud.
d. Ketentuan atau peraturan/ petunjuk yang harus diindahkan dan dilakukan.
Sedangkan terminologi alasan diartikan (1996: 22) sebagai:
a. Dasar dan hakikat.
b. Dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan pendapat (sangkal, pendapat).
c. Yang menjadi pendorong (untuk berbuat).
d. Yang membenarkan perlakuan tindak pidana dan menghilangkan kesalahan terdakwa.
Dari dua arti kamus yang dikemukakan di atas. Dalam kaitannya dengan syarat penangkapan dan alasan penangkapan. Syarat penangkapan dapat diartikan sebagai ketentuan atau petunjuk yang harus dipenuhi oleh penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana yang di duga melakukan tindak pidana dengan dasar bukti yang cukup.
Beda halnya dengan alasan penangkapan, yang diartikan sebagai dasar atu hakikat sehingga terhadap pelaku tindak pidana yang disangka dalam proses penyidkan dibenarkan untuk ditangkap.
Regulasi ketentuan penagkapan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 20 kemudian juga diatur secara rinci dalam Pasal 16 s/d Pasal 19 KUHAP. Alasan penangkapan terdiri atas alasan objektif dan alasan subjektif. Alasan objektif tertuju pada objek atau perbuat dari pada tindak pidan tersebut. Sedangkan alasan subjektif, dititikberatkan pada orang (subjek hukum sebagai pemangku hak dan kewajiban) yang diduga (baca: disangka) melakukan tindak pidana. Diatara alasan subjektif penangkapan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 KUHAP sebagai berikut:
a. Untuk kepentingan penyelidikan atas perintah penyidik.
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, dan penyidik pembantu.
Selain alasan objektif, juga yang menjadi alasan penangkapan juga ditegaskan dalam Pasal 17 KUHAP perihal alasan subjektif penangkapan yakni “penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Oleh berbagai penulis Hukum Acara Pidana seperti Yahya Harahap dan Andi Hamzah mempermasalahkan masalah bukti permulaan yang cukup. Undang-undang justru memberi ruang bebas (discretion) kepada tersangka untuk melakukan penangkapann dengan dalih tangkap saja dulu, persolan bersalah atau ada cukup bukti nanti persolan belakangan.
Oleh karena itu usulan dari Harahap (2002: 158) sepertinya lebih tepat dengan menghapuskan saja kata permulaan sehingga redaksi Pasal tersebut berbunyi “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.” Disamping mengurangi kebiasan Pasal tersebut baik dalam penilaian hakim atas praperadilan juga mengurangi kepastian dan kesewenang-wenangan (willekeur) dari penyidik atas penangkapan. Seperti pengaturan alasan penangkapan yang terjadi di Amerika bahwa untuk melakukan penangkapan harus didasarkan atas affidavit and testimony. Harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian.
Jika demikian diterapkan, maka penegakan hukum dan tindakan aparat akan lebih objektif. Karena sudah pasti bukti yang cukup harus disandarkan pada sistem pembuktian negatif (wettelijk negative) berdasarkan Undang-undang (vide: Pasal 183 dan Pasal 184).
Mengenai syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 18, hal-hal yang harus dipenuhi oleh pejabat penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa (dwang) berupa penangkapan anatra lain:
a. Penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh kepala kesatuan atau instansi seperti kapolwil, kapolres atau kapolsek.
b. Penangkapan dilakukan terhadap tersangka yang mangkir dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah saat dipanggil oleh penyidik.
c. Petugas pelaksana wajib membuat berita acara penangkapan setelah penangkapan dilakukan.
d. Jangka waktu penangkapan paling lama satu hari. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan status orang uang ditangkap apakah selanjutnya ia ditahan, wajib lapor atau dilepaskan. Bila pejabat yang berwenang menangkap seseorang lewat dari sehari maka dapat dikategorikan pejabat tersebut telah melakukan tindakan sewenang-wenang.
e. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Bagaimana jika petugas melakukan penangkapan sedangkan tersangka berada di dalam rumah atau di tempat tertutup lainnya ? apa saja yang harus dilakukan oleh petugas ? sesuai dengan ketentuan dalam buku petunjuk lapangan (Bujuklap) sebagaimana dikemukakan Rocky Marbun (2010: 10) tentang penindakan dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Menunggui hingga tersangka keluar rumah.
b. Jika harus melakukan penggerebekan untuk melakukan penangkapan, harus ada izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
c. Memberikan peringatan terlebih dahulu sebanyak tiga kali.
Permasalahan yang sering diperdebatkan oleh para penulis. Bahkan permasalahan itu sudah berulang ditulis dalam karya ilmiah, jurnal, artikel maupun literatur hukum acara pidana perihal syarat penangkapan adalah batas waktu (tenggang waktu) penangkapan yang sangat singkat. Hanya dalam satu hari. Satu hari berdasarkan pengertian yang ditegaskan dalam Pasal 1 butir 31 KUHAP ialah dua puluh empat jam. Bagaimana mungkin melakukan penangkapan dalam waktu satu hari saja, jika pelaku tindak pidana terletak di desa terpencil ? misalnya untuk menjangkau daerahnya harus menggunakan perahu sampan.
Menurut Yahaya harahap (2002a: 161) untuk mengatasi hambatan permasalahan itu, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyidikan, tetapi sekali tidak melanggar hukum (onrechtmatigheid), dapat disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksanaan KUHAP yang memberi solusi alternatif atas permasalahan tersebut:
a. Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat yang terdekat.
b. Apabila penangkapan dilakukan oleh penyelidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyidik untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.
Berhubung dengan itu berdasarkan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI butir 3, khusus bagi daerah-daerah yang terpencil yang jauh dari tempat kedudukan penyidik sehingga tidak mungkin untuk mengadakan pemeriksaan dalam satu hari maka perlu dikeluarkan dua macam surat perintah, yakni:
a. Surat perintah dari penyidik kepada penyelidik untuk membawa dan menghadapkan tersangka kepada penyidik.
b. Surat perintah penangkapan, yaitu yang diberikan setelah tersangka sampai di tempat kedudukan penyidik untuk segera dapat disusul dengan pemeriksaan oleh penyidik sehingga dalam satu hari telah diperoleh hasilnya untuk penentuan tindakan lebih lanjut. (Harahap: ibid)
C. Tujuan dan Wewenang Praperadilan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56).
Pemuatan prinsip-prinsip hukum (the principle of law) tersebut dalam KUHAP tidak lain untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia yang telah digariskan baik dalam landasan konstitusional (baca: UUD 1945) maupun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/ konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.” Demikian juga secara jelas ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.”
KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak dibenarkan karena merupakan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya Harahap (2002: 3) mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat:
a. Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
b. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan pengurangan, pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka. Maka tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur hukum yang benar. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-undang merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.” Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Tujuan/ maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan. Secara detil Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan “lembaga peradilan sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.”
Undang-undang telah memberi otoritas (kewenangan) kepada pejabat penyidik untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Jika dalam pelaksanan tugas dan kewenangan itu melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka lembaga praperadilan yang akan menilai dari pada tindakan pejabat tersebut apakah diluar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah diberikan kepadanya.
Praperadilan layaknya sebuah institusi yang menguji, menilai, mencari benar/ salah, sah atau tidak tindakan pejabat yang melakukan upaya paksa terhadap tersangka. Kententuan hukum kewenangan praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan penuntut atau penyidik demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Hal yang ditegaskan Pasal 1 butir 10 KUHAP tentang yang dapat dipraperadilankan diatur lebih rinci pada Pasal 77 KUHAP yang menegaskan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pada lampiran Keputusan-Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01. PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditegaskan antara lain:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyimpangan perkara untuk kepentingan umum dan Jaksa Agung).
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seoarang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77)
c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 3).
d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2).
e. Perminataan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, Yahya Harahap (2002b: 5 – 8) juga mengemukakan secara rinci wewenang praperadilan yang disesuaiakn dengan ketentuan KUHAP (Pasal 1 butir 10, Pasal 77, Pasal 95, Pasal 97) sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan.
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
c. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.
Dalam KUHAP penerapan upaya paksa, yang menimbulkan permasalahan hukum dan multipersepsi dalam penerapan diantaranya:
a. Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan yang undue process atau orang yang ditahan atau diatangkap salah orang (eror in p ersona).
b. Sedang tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada dalam luar yurisdiksi praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:
1. Dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari KPN (Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP).
2. Dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 2 KUHAP) (Harahap, 2002b: 7)
Dalam kaitannya dengan hal di atas, oleh karena adanya intervensi pengadilan dalam memberi izin atas tindakan upaya paksa dalam penggeledahan dan penyitaan. Maka tak pelak lagi/ mustahil bagi pengadilan untuk menilai tindakan upaya paksa penggeledahan dan/ atau penyitaan yang telah dilakukan oleh pejabat bersangkutan, sebab pengadilan sudah memberinya izin, yang dianggap sebagai tindakan intervensi dan keterlibatan Pengadilan Negeri dalam tindakan upaya paksa.
Namun Yahya Harahap (ibid) memberi komentar atas pendapat tersebut, bahwa memungkinkan terjadinya penyimpangan di luar batas surat izin yang diberikan KPN. Terhadap penggeledahan dan penyitaanpun dapat diajukan ke forum praperadilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:
a. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya.
b. Dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari KPN, tetap dapat diajukan ke forum praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni:
1. Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau persetujuan yang dikeluarkan oleh KPN tentang hal itu.
2. Yang dapat di nilai oleh praperadilan, terbatas pada masalh pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak.
Alasan lain yang mendukung tindakan penyitaan termasuk yurisdiksi praperadilan berkenaan dengan penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak ketiga, dan barang itu tidak termasuk alat atau barang bukti. Kehadiran yang seperti ini, pemilik barang harus diberi hak untuk mengajukan ketidakabsahan penyitaan kepada praperadilan.
D. Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan dan penyidikan penting diuraikan dalam tulisan ini. Karena dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan pejabat penyelidik dan penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan peneriksaan surat. Dalam tindakan upaya paksa tersebut, jika yang diperiksa merasa keberatan atas perlakuan dirinya yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka dapat mengajukan praperadilan
Terminologi penggunaan kata penyelidikan dan penyidikan, jika diperhatikan dari kata dasarnya, sama saja, keduanya berasal dari kata dasar sidik. Namun dalam KUHAP pengertian antara penyelidikan dan penyidikan dibedakan sebagai tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP menegaskan ‘penyelidikan adalah serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.”
Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Dengan pengertian yang ditegaskan dalam KUHAP, penyelidikan sesungguhnya penyelidik yang berupaya atau berinsiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Walaupun dalam pelaksaanan tugas penyelidkan terkadang juga menerima laporan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan (vide: Pasal 108 KUHAP). Tujuan dari pada penyelidikan memberikan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyelidik, agar tidak melakukan tindakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Penyelidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang (Pasal 1 butir 4) yang memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 KUHAP:
1. Penyelidik atau Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
2. Mencari keterangan dan barang bukti.
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2. Pemeriksan dan penyitaan surat.
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4. Membawa dan menghadapkan seseoarang pada penyidik
2. Penyelidk membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat 1 huruf a dan huruf b kepada penyidk.
Dengan memperhatikan rumusan Pasal 1 butir 5. Arti dari pada penyelidikan. Penyelidkan tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan suatu peristiwa itu diduga keras sebagai tindak pidana. Penyelidikan dimaksudkan untuk menemukan bukti permulaan dari pelaku (dader). Baik dalam Pasal 1 butir 5 maupun Pasal 5 KUHAP tidak ditegaskan perkataan pelaku atau tersangka. Dengan demikian, sudah tepat jika penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan suatu peristiwa diduga keras sebagai tindak pidana.
Sedangkan penyidikan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 butir 2 ”serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.”
Tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan. Titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti. Supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang. Agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksasan suatu peristiwa pidana. Hal yang membedakan dari penyelidikan dan penyidkan sebagaiman dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) yaitu:
a. Dari segi pejabat pelaksana, pejebat penyelidk terdiri dari semua anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik.
b. Wewenang penyidik sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga meruapak tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat 1 huruf b seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
Dalam penyidikan juga pejabat penyidik (lih: Pasal 6) memiliki kewenangan dalam mencari dan mengumpulkan bukti seperti halnya kewenangan yang diberikan kepada penyelidik dalam tingkat penyidikan. Kewenangan penyidikan ditegaskan dalam Pasal 7 KUHAP sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseoarang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum melalui SPDP (Surat Pemberitahun Dimulainya Penyidikan, vide: Pasal 109 ayat 1 KUHAP).
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat 2 KUHAP). Penyerahan ini dilakukan melalui dua tahap, yakni:
a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
b. Dalam hal penyidikan dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Jika pada penyerahan tahap pertama, penutut umum berpendapat bahwa berkas perkara kurang lengkap maka ia dapat:
a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk. Penuntut umum menerbitkan P-18 dan P-19.
b. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 30 ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).
Berdasarkan Pasal 110 ayat 4 KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.
E. Dasar Yuridis Pemeriksaan Praperadilan
Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat), (vide: pasal 1 ayat 3 dan penjelasannya UUD 1945)
Berkaitan dengan praperadilan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 95 sampai dengan Pasal 97 ayat (3) KUHAP. Di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03, tahun 1982 ditegaskan bahwa penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain baik secara preventif maupun represif.
Sedangkan tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Dalam proses pencarian kebenaran materil itu terhadap tersangka tetap memiliki hak asasi dan perlindungan kepentingan untuk mendapatkan perlakuan yang layak dalam pemeriksaan. Jika dalam tindakan pemeriksaan bertentangan dengan ketentuan atau prosedur hukum yang berlaku maka pihak yang diperiksa dapat mengajukan permohonan praperadilan.
Landasan Undang-undang adalah adanya landasan sosiologis, yuridis dan filsufis. Dasar sosiologi praperadilan dalam KUHAP adalah m,[perlindungan terhadap hak dan kepentingan yang manusiawi. Dasar filsufis yakni tercapainya keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equal before the law). Dasar yuridis adalah untuk menjamin kepastian (certainty) dalam penegakan hukum. Dengan demikian berdasarkan uraian yang ditegaskan dalam KUHAP, dasar yuridis dari pemeriksaan praperadilan dapat disistematisasi sebagai berikut:
a. Pengertian, fungsi dan wewenang praperadilan (Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77) memeriksa dan memutus
- Sah tidaknya penangkapan, penahanan.
- Sah tidaknya penghentian penyidikan/ penuntutan.
- Ganti rugi dan rehabilitasi.
b. Lembaga yang kompeten dan jumlah hakim pemeriksaan praperadilan (Pasal 78)
- Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus permohonan praperadilan.
- Pemeriksaan permohonan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal.
c. Pihak yang dapat/ berhak mengajukan permohonan praperadilan (Pasal 78, Pasal 80, Pasal 81)
- Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya terhadap tidak sahnya penangkapan, penahanan dan gugatan ganti rugi.
- Penyidik terhadap tidak sahnya penghentian penuntutan.
- Penuntut terhadap tidak sahnya penghentian penyidikan.
d. Tata cara pemeriksaan praperadilan (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 2).
e. Isi putusan praperadilan (Pasal 82 ayat 3)
- Sah atau tidaknya penangkapan.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
- Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
- Perintah pembebasan dari tahanan.
- Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan.
- Besarnya ganti kerugian.
- Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka.
- Memerintahkan segera mengembalikan barang sitaan.
(lih, juga Harahap, 2002b: 20)
f. Upaya hukum terhadap penetapan praperadilan (Pasal 83)
- Berkaitan dengan permintaan praperadilan terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, permintaan ganti kerugian, dan rehabilitasi, jika tidak dikabulkan oleh hakim praperadilan, tidak dapat dimintakan banding. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
- Berkaitan dengan pemeriksaan sah tidaknya penghentian penyidikan/ penuntutan pada lembaga praperadilan, putusannya masih dapat dimintakan banding di Pengadilan Tinggi. (lih. Juga Marbun, 2010: 42)
g. Ketentuan permohonan ganti rugi baik yang diajukan oleh tersangka, keluarga maupun kuasa hukumnya (Pasal 95 dan Pasal 96)
h. Rehabilitasi atau pemulihan nama baik atas tidak sahnya penahanan kepada tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke PN (Pasal 97)
Berdasarkan uraian di atas menunjukan ada sebelas Pasal yang menjadi pedoman sumber pengaturan (baca: dasar yuridis) pemeriksan praperadilan. Pertama ditegaskan dalam ketentuan umum, mengenai defenisi, fungsi dan kewenangan praperadilan. Selebihnya regulasi praperadilan ditegaskan dalam BAB X mulai dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Kemudian diatur juga perihal permohonan ganti rugi dan rehabilitasi dalam tiga Pasal (Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97) jika penangkapan, penahanan bertentangan dengan Undang-undang, kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan (vide; Pasal 95 ayat 1 KUHAP)
F. Proses Pemeriksaan Praperadilan
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang memiliki fungsi yustisial untuk mengadili permohonan praperadilan. Permohonan praperadilan identik dengan gugatan expartee dalam hukum acara perdata. Yahya harahap (2002b: 6) menyebutnya sebagai gugatan yang menempatkan pejabat penyidik atau penuntut sebagai terdakwa semu. Pengadilan negeri akan menilai apakah suatu tindakan penyelidik atau penuntut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Hakim tunggal yang mengadili permohonan praperadilan akan membuat penetapan atas permonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka/ keluarganya (kuasa hukumnya). Atau dapat juga permohonan praperadilan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas penghentian penyidikan/ penghentian penuntutan.
Secara jelas proses pemeriksaan (hukum acara) permohonan praperadilan pertama-tama diajukan oleh:
a. Tersangka, keluarganya, kuasanya tentang tidak sahnya penangkapan atau penahan
b. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan.
c. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penuntutan, yang diajukan ke pada ketua pengadilan negeri (Pasal 79, Pasal 80 KUHAP) dengan menyebut alasan-alasanya.
Setelah permintaan untuk pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dicatat dalam register perkara praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. Menyampaikan surat tersebut kepada ketua/ wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara praperadilan tersebut.
Segera setelah menerima penunjukan, dalam waktu tiga hari setelah dicatatnya perkara (bukan setelah ditunjuk), hakim praperadilan tersebut harus menetapkan hari sidang dalam suatu penetapan serta memanggil saksi-saksi. Penetapan tersebut, dikirimkan kepada penuntut umum untuk dilaksanakan. Kepada termohon dilampiri salinan/ foto kopi surat permintaan praperadilan, agar ia meneliti dan mempelajarinya. Yang dipanggil ke persidangan praperadilan, selain tersangka/ terdakwa yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, juga termohon, pejabat-pejabat yang berwenang.
Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan cepat dan berita acara dan putusan praperadilan dibuat seperti pemeriksaan singkat. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus memutuskan perkara. Perhitungan waktu tujuh hari adalah terhitung dari sejak dimulainya pemeriksaan.
Dalam hal suatu pemeriksaan praperadilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya sudah dimulai diperiksa maka pemeriksaan praperadilan dinyatakan gugur.
Terhadap putusan praperadilan tidak dimintakan banding (Pasal 83 KUHAP), tetapi khusus terhadap kasus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka penyidik/ Penuntut Umum dapat meminta putusan akhir ke pada Pengadilan Tinggi. Selanjutnya diperlakukan ketentuan-ketentuan pada acara banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya.
Putusan Pengadilan Tinggi di sini, harus segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera Pengadilan Negeri.
Sebagaimana dikemukakan di atas, putusan pengadilan merupakan putusan akhir. Dengan demikian, untuk putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara cepat dan perkara-perkara praperadilan sehingga jika masih dimungkinkan kasasi maka hal tersebut tidak akan dicapai. Selain itu praperadilan sebagai wewenang pengawasan horizontal dari Pengadilan Negeri (Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1982 No. 277 K/ Kr/ 1982).
Putusan verstek dalam acara praperadilan tidak dikenal. Bentuk keputusan praperadilan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahan dalam putusan, sedangkan mengenai pemberian ganti rugi dan rehabilitasi adalah penetapan (vide: Pasal 96 ayat 1 KUHAP).
Berdasarkan Pasal 77, hakim tidak dapat dipra-peradilankan. Hal ini ditegaskan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 8 Desember 1983 Nomor: SEMA 14 Tahun 1983.
G. Bentuk Putusan Praperadilan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Putusan praperadilan dilaksanakan dengan acara cepat. Yang harus sudah diputuskan dalam waktu tujuh hari. Oleh karena itu bentuk putusan praperadilan, pastinya menyesuaikan diri dengan sifat proses pemeriksaan dengan acara cepat.
Bentuk putusan praperadilan disatukan dengan berita acara. Hal ini dapat ditafsirkan dengan memperhatikan apa yang ditegaskan dalam pasal 82 ayat 1 huruf c “pemeriksaan praperadilan dilakukan dengan acara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.” Oleh karena putusan praperadilan merupakan putusan acara cepat, maka tiada lain dari pada putusannya dirangkai menjadi satu dengan berita acara.
Selain itu, bentuk putusan praperadilan yang lazimnya disatukan dengan berita acara juga dapat dilihat dalam pasal 96 ayat 1
Pasal 96 ayat 1 menegaskan “putusan pemberian ganti rugi berbentuk penetapan” bentuk putusan yang dikategorikan sebagai penetapan lazimnya disatukan dengan berita acara dengan isi putusan itu sendiri.
Menurut Yahya Harahap (2002b: 18) “kelaziman yang demikian juga sering dijumpai dalam putusan perdata. Penetapan yang bersifat volunter secara exparte dalam proses perdata adalah bentuk putusan yang berupa rangkaian anatara berita acara dengan isi putusan tidak dibuat secara terpisah.” Dengan demikian bentuk putusan praperadilan tidak dibuat secara khusus. Tetapi dicatat dalam berita acara sebagaimana bentuk dan pembuatan putusan dalam proses acara singkat yang diatur dalam Pasal 203 ayat 3 huruf d.
Bentuk putusan praperadilan dapat diamati berdasarkan perumusan putusan/ rangkain putusan secara keseluruhan yang disatukan dengan berita acara.
Selain itu juga dapat diamati pada isi putusan yang biasanya ditegaskan/ dicantumkan oleh hakim tunggal yang mengadili dan memutus pemeriksaan praperadilan. Penegasan isi putusan atau penetapan permohoan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 82 ayat 2 ayat 3 KUHAP. Dengan mencermati pasal 82, Yahya Harahap (2002b: 19) mengemukakan amar penetapan praperadilan dapat berupa:
a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahan
Jika dasar alasan permintaan yang diajukan permohonan berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang ditegaskan dalam pasal 97, maka amar penetapannyapun harus memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Jika alasan yang diajukan pemohon berupa permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, berarti amar putusan praperadilan memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Diterimanya atai ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Di sinipun demikian halnya. Jika dasar alasan permintaan pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi, berarti amar penetapan memuat dikabulkan atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
d. Perintah pembebasan dari tahanan.
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat 3 huruf a. Agar penetapan praperadilan memuat amar yang memerinthakan agar tersangka segera dibebaskan dari tahanan, amar yang demikian merupakan kemestian dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang sah atau tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, dan praperadilan berpendapat penahan tidak sah, amar putusan praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah penahan tidak sah dan perintah pembebasan tersangka dari tahanan.
e. Perintahkan melanjutkan penyidikan atau penututan.
Pencatuman amar ini demikian penting, karena dengan adanya penetapan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, dalam jiwa pernyataan putusan yang demikian sudah terkandung perintah yang mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan penuntutan dilanjutkan, . sekiranya praperadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah. Amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penyidik wajib melanjutkan penyidikan atau amar yang memerintahkan penuntut umum melanjutkan penuntutan.
f. Besarnya ganti kerugian.
Apabila alasan pemeriksaan praperadilan berupa permintaa ganti kerugian baik oleh karena tidak sahnya penangkapan atau penahanan. Amar putusan praperadilan mencantumkan dengan jelas jumlah ganti kerugian yang dikabulkan.
g. Berisi pernyatan pemulihan nama baik tersangka.
Jika alasan permintaan pemeriksaan yang berhubungan dengan masalah rehabilitasi, amar putusan memuat pernyataan pemulihan nama baik pemohon kalau permohonan dikabulkan.
h. Memerintahkan segera mengembalikan barang sitaan.
Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 82 ayat 3 huruf d. Apabila alasan permintaan pemeriksaan praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik disebabkan dalam penyitaan ada termasuk benda yang tidak termasuk alat pembuktian. Atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang sedang diperiksa cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk sebagai benda alat pembuktian. Putusan praperadialn harus memuat amar yang memerintahkan benda tersebut segera dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu di sita.
Berdasarkan uraian dari bentuk dan isi amar putusan yang telah dikemukakan diatas dalam kaitannya dengan bentuk putusan yang disatukan dengan berita acara. Setara dengan bentuk putusan gugatan exparte dalam hukum acara perdata. Tidak ada salahnya mengidentifikasi masing-masing isi amar putusan sebagai bentuk atau jenis keputusan yang sering dikemukan oleh beberapa penulis dalam hukum acara perdata, seperti putusan deklaratoir, putusan konstitutif, dan putusan condemnatoir.
Tampaknya, dalam amar putusan praperadilan terkandung juga amar yang isinya sama dengan putusan yang bersifat menyatakan (deklaratoir) dan juga termuat putusan yang sifatnya menghukum atau memerintahkan (condemnatoir). Putusan deklaratoir seperti, pernyatan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Sedangkan putusan yang sifatnya condemnatoir seperti perintah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabila penahanan dinyatakan tidak sah, atau perintah yang menyuruh penyidik untuk melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyiidikan dinyatakan tidak sah. Bahkan dengan argumentasi ini sehingga Yahya Harahap (2002b: 18) “menafsirkan bahwa bentuk dari pada penetapan praperadilan khususnya permonan ganti rugi, nyatanya membuktikan bahwa bentuknya antara putusan disatukan dengan berita acara.”
H. Hal-hal yang Menggugurkan Pemeriksaan Praperadilan
Gugatan dapat gugur. Tidak hanya dikenal dalam pemeriksaan gugatan (baca: permohonan) praperadilan. Baik dalam hukum acara perdata juga dikenal adanya gugatan yang gugur ketika telah memasuki pemeriksaan persidangan, jika penggugat tidak datang menghadap pada hari sidang yang ditentukan atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut (Harahap, 2005: 873; lih juga pasal 124 HIR dan pasal 77Rv).
Selain itu juga dalam perkara Keputusan Administrasi Negara, Peradilan Tata Usaha Negara (rechtspraak) dapat menggugurkan gugatan individu atau badan hukum perdata yang menggugat keputusan pejabat adminitrasi negara jika penggugat atau kuasanya (latshebber) tidak hadir di persidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan. Yaitu pada hari sidang pertama dan kedua secara berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (Marbun, 1988: 100; lih. Juga Pasal 97 ayat 7 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN).
Tidak jauh berbeda dengan hukum acara perdata, pemeriksaan praperadilan dapat gugur. Artinya pemeriksaan praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan. Pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Gugurnya pemeriksaan praperadilan ditegaskan dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Memperhatikan ketentuan ini gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi:
a. Apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dan
b. Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan praperadilan belum selesai.
Perkara pokok yang telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri maka dengan sendirinya otomatis permintaan praperadilan gugur. Jelas, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya putusan yang bertentangan. Sebuah institusi Pengadilan Negeri sebagai lembaga yustisial harus menghindari terjadinya inkonsistensi putusan. Kekacauan putusan mutlak dicegah, agar tidak terjadi sikap anomali, kebencian dan ketidakpercayaan publik (meminjam terminologi Pamungkas: 2010) terhadap instusi hukum (structure).
Lebih tepat pemeriksaan praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan praperadilan yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik dalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutuskannya.
No comments :
Post a Comment