Sejarah
TINJAUAN SEJARAH AWAL DAN ARAH KEMANDIRIAN HKBP
Beberapa Catatan Historis tentang Awal dan Arah Kemandirian HKBP
Pdt. Dr. J.R. Hutauruk
I. Periode 1860an – 1940an
1. Tiga Kekuatan
Dari segi sejarah kepemimpinan Sending RMG (1861-1940) dan HKBP (1940-2011) ada tiga kekuatan yang mengawali sekaligus jadi tiang penopang kemandirian HKBP.
Pertama, lahirnya jemaat – jemaat desa atas keterbukaan menerima Injil , prakarsa dan swadaya kaum elit desa ( para raja/ pendiri desa dan warganya, khususnya dalam pengadaan pertapakan dan pembangunan gedong gerejanya. Sejak 1881 jemaat setempat berhak memilih pendeta pribumi menjadi pelayan sekaligus pemimpin jemaat di bawah pimpinan tuan pandita yang memimpin resort, seperti tertuang pada pasal 19 Tata Gereja 1881. Isi pasal ini tidak pernah diberlakukan. Mengapa pasal tentang hak jemaat untuk diikutsertakan menentukan siapa yang akan menjadi pimpinannya tidak pernah disebutkan. Terbentuknya badan majelis jemaat (kerkeraad dan kasbestur) telah meningkatkan hak kemandirian jemaat setempat sejak 1920. Majelis jemaat yang terdiri dari para sintua jemaat mengurusi soal-soal kerohanian dan badan kebendaharaan “kasbestuur” mengurusi keuangan dan inventarsi jemaat. Anggotanya terdiri dari anggota jemaat yang dianggap mampu mengemban tugas kebendaharaan itu. Majelis jemaat dibentuk oleh jemaat sendiri. Jemaat dipimpin oleh pendeta pribumi atau guru pribumi. Kelembagaan jemaat ini mencerminkan sistem presbiterial – sinodal HKBP, yang kemudian tertuang dalam tata gereja 1930. Kemudian 1960an mengalami perubahan, di mana golongan kasbestuur ditiadakan dengan alasan hanya mereka yang pemangku jabatan gereja ( sintua ) yang diijinkan jadi anggota majelis sedang seorang warga jemaat tidak. Dan itulah yang berlaku hingga kini. Sistem presbiterial-sinodal , yang dulu terdiri dari pemangku jabatan dan anggota jemaat sudah tiada, dan yang ada kini ialah kumpulan para pejabat gereja. Dulu ada golongan “kas bestuur”, kini sudah bagian dari masa tempo dulu.
Pada awalnya keberadaan majelis jemaat itu menandakan kemandirian sebuah jemaat, karena hanya jemaat yang mampu membiayai diri sendiri dapat diakui sebagai sebuah jemaat. Kemandirian yang ditopang oleh kekuatan finansial jemaat menentukan mutu kemandiriannya.
Kekuatan kedua. Pada awalnya, penataan otoritas tertinggi di atas semua jemaat yang sedang tumbuh dan berkembang ialah kepemimpinan para pendeta utusan di bawah pimpinan seorang ephorus. Ephorus yang menempatkan guru dan pendeta. Dan pada gilirannya guru atau pendeta yang ditempatkan itu jadi pimpinan jemaat atas otoritas yang di atasnya yaitu para pendeta utusan yang berfungsi sebagai misionar dan pendeta resort. Pendeta resort yaitu para tuan pendeta, di aatsnya ada praeses dan diatasnya ada ephorus yang dapat langsung setiap saat berkunjung dan mengawasi semua jemaat. Kepemimpinan sedemikian rupa mencerminkan apa yang dikenal dengan sebutan episkopal, dan disebut sinodal-episkopal, karena ephorus,praeses, pendeta resort dan guru atau pendeta yang memimpin setiap rapat atau sinode mulai dari jemaat hingga ke sinode godang. Lihat Tata gereja 1881 pasal 20-25 dan tata gereja berikutnya. Kedudukan ephorus berada pada tiingkat tertinggi dari kerucut kepemimpinan itu.
Sejarah sending RMG dan HKBP (1861-2011) telah mencatat adanya kontradiksi kedua unsur itu, dan itu paling sering nampak di tengah jemaat HKBP yang jauh dari pusat hirakhi-episkopal itu, ketika jemaat-jemaat itu menuntut hak dan tanggungajwabnya sebagai jemaat yang mandiri. Contoh: jemaat-jemaat parserahan di Medan dan Jakarta (Batavia) pada tahun 1920an dan 1930an. Kedua unsur itu tetap dipertahankan hingga kini. HKBP selalu berupaya menarik manfaatnya secara konstruktif dan kreatif. Itulah dua kekuatan yang menopang kemandirian HKBP, kekuatan-kekuatan yang dalam dirinya sendiri menyimpakan kontradiksi dalam dirinya sendiri.
Kekuatan yang ketiga ialah pemangku jabatan kependetaan itu. Adanya jabatan kependetaan yang sejak awal melekat pada pribadi setiap misionaris sekaligus pendeta utusan. Karena alasan praktis di mana pertambahan tenaga pendeta utusan tidak bakal dapat memenuhi kebutuhan perluasan sending yang melahirkan jemaat, maka sejak 1868 dibuka pendidikan ( guru pribumi dan sejak 1885 dibuka pendidikan pendeta pribumi, yang nanti dapat menjadi perpanjangan tangan kaum pendeta utusan untuk melaksanakan tugas pelayanan di bidang khotbah termasuk kedua sakramen baptian dan perjamuan kudus, pengajaran, penggembalaan dan pengelolaan administrasi jemaat. memimpin jemaat Status mereka sebagai pembantu, menunut loyalitas tinggi terhadap bapa rohani mereka, tuan pandita Jerman. Semua tugas pelayanan mereka dan kebijakan mereka harus dilaporkan kepada atasannya.
Perhatian kita selanjutnya lebih focus pada jabatan pendeta pribumi sebagai pendeta pembantu.
2. Pembantu.
Pelayan pribumi yang sudah menerima tahbisan kependetaan adalah para pemimpin jemaat dan gereja Batak (HKBP). Para misionaris RMG adalah sekaligus pendeta utusan RMG yang langsung memimpin jemaat-jemaat yang lahir dari hasil penginjilan mereka. Mereka dibantu oleh para pelayan pribumi, khususnya guru dan pendeta. Sejak 1868 pendidikan guru telah dibuka dan sekolah pendeta sejak 1883. Sejak 1885 para pendeta pribumi telah menerima tahbisan pendeta setelah selesai studi sekolah pendeta selama dua tahun, kemudian ditempatkan di sebuah jemaat, biasanya di jemaat keberangkatan mereka ke sekolah pendeta. Disamping tugas-tugas yang pernah mereka lakukan sebagai guru, kini mereka diijinkan melayankan firman Tuhan dalam bentuk kedua sakramen baptisan dan perjamuan kudus. Dan sejak Juli 1940 status sebagai pelayan pembantu tuan pandita berakhir dan mengambil alih tugas kepemimpinan di HKBP hingga kini. Pergantian itu terjadi hanya karena paksaan sejarah; seluruh warga negara Jerman di Indonesia ( Hindia Belanda dulu) dianggap musuh negara dan pemerintah Hindia Belanda dan karenanya mesti ditangkap dan diusir dari Hindia Belanda. Sinode Godang Istimewa 10-11 Juli 1940 telah memilih Pdt.Kasianus Sirait menjadi Ephorus (Voorzitter) pertama dari kalangan pendeta pembantu pribumi.
3. Konsep Kemandirian.
Konsep kemandirian sejak awal sudah tersedia. Sending RMG sejak awal sudah mengenal konsep kemandirian gereja. Para pencetus keonsep itu a.l. Henry Venn (1796-1873) dari Inggris sejak 1851 untuk India Selatan, Rufus Anderson (1796-1880) dari Amerika Serikat sejak 1856 untuk daerah-daerah penginjilan Amerika Serikat dan Karl Graul dari Jerman sejak 1847 serta Gustav Warneck (1834-1910), ayah Johannes Warneck (kelak jadi Ephorus HKBP 1920-1932). Rumusan kemandirian itu terkenal dengan rumus tiga tugas mandiri: mandiri di bidang dana, pemeritahan gereja dan penyebaran Injil. Konsep tersebut diterapkan oleh para utusan sending RMG di Tanah Batak, dan itulah tujuan akhir dari upaya sending RMG di Tanah Batak. Pada suatu waktu akan tiba saatnya diadakan penyerahan hak kemandirian itu dari tangan Sending RMG ke tangan HKBP sebagai Gereja yang mandiri. Sampai saat kemandirian yang dinantinatikan itu, maka kepemipinan Gereja (HKBP) akan dilayankan oleh para utusan Sending RMG yang sekaligus bertindak sebagai pendeta pemimpin HKBP mulai dari aras resort, distrik dan gereja keseluruhan (hatopan) sesuai Tata gereja 1881.
Paternaslisme, mental kebapaan sangat kental pada kepemimpinan kaum pendeta utusan Barat terhadap para anak didik kaum pendeta pribumi. Mereka lebih tahu kapan kaum pendeta pribumi siap menerima jabatan kepemimpinan dari tangan kaum bapa ke tangan anak didik rohani dan pembantu mereka.. Dan kaum pendeta pribumi menghormati mereka sebagai sebagai atasan, yang dianggap lebih tahu dalam segala hal dan masalah yang dihadapi. Hanya sedikit dari kalangan kaum pendeta pribumi yang menentangnya, dan keluar dari pimpinan Sending RMG di Indonesia. Mental patriarkhalisme Batak ikut memengaruhi sikap loyal pendeta pribumi terhadap bapa rohani dan sekaligus bapa pimpinan mereka. Kaum pendeta pribumi siap mengunggu kapan mereka memimpin gerejanya HKBP.
Paternaslisme, mental kebapaan sangat kental pada kepemimpinan kaum pendeta utusan Barat terhadap para anak didik kaum pendeta pribumi. Mereka lebih tahu kapan kaum pendeta pribumi siap menerima jabatan kepemimpinan dari tangan kaum bapa ke tangan anak didik rohani dan pembantu mereka.. Dan kaum pendeta pribumi menghormati mereka sebagai sebagai atasan, yang dianggap lebih tahu dalam segala hal dan masalah yang dihadapi. Hanya sedikit dari kalangan kaum pendeta pribumi yang menentangnya, dan keluar dari pimpinan Sending RMG di Indonesia. Mental patriarkhalisme Batak ikut memengaruhi sikap loyal pendeta pribumi terhadap bapa rohani dan sekaligus bapa pimpinan mereka. Kaum pendeta pribumi siap mengunggu kapan mereka memimpin gerejanya HKBP.
4. Seminarium.
Tempat pendidikan para calon pembantu dari para pendeta utusan dikenal dengan nama “Seminarium”, tempat pesamaian benih-benih yang baik dari kalangan orang Kristen Batak untuk diberi pendidikan. Di sana SDM para calon pembantu diberi beragam ilmu pengetahuan umum dan pengetahuan di bidang Alkitab, Dogma, Etika, Sejarah dan bimbingan praktis untuk guru dan pendeta. Ilmu pengetahuan umum yang setara dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah guru yang didirikan oleh pemerintah Belanda di seluruh daerah jajahannya di Nusantara ini. Wawasan dan kepribadian diharapkan berubah melalui ragam ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada mereka dan juga metode pengajaran yang mereka terima dan praktekkan. Namun, tujuan utama ialah pembentukan karakter ( afeksi, emosi dan motivasi ) setiap para calon pembantu pendeta utusan. Dan pada gilirannya kaum guru dan pendeta pribumi kelak mampu membentuk pribadi manusia Batak dan Bangso Batak punya karakter Kristiani. Mereka jadi penggerak dan jadi teladan bagi setiap kaum Batak. Pembangunan karakter Kristiani itu bukanlah hal yang mudah tetapi sangat sulit. Seorang calon guru dan pendeta masih dipengaruhi karakter-karalter Batak purba. Untuk itu, seorang calon guru yang dibentuk oleh system pendidikan Batak purba dibutuhkan suatu pendidikan yang sarat dengan peraturan-peraturan ketat, kepemimpinan yang paternalistic-otoriter. Anak-anak Batak di desanya, demikian observasi guru dan pemimpin Seminari J.Warneck (1897-1906) adalah orang-orang bebas, alias liar tanpa aturan dari orangtua atau raja desa. Anak-anak dibebaskan para orang tua mereka melakukan apa yang mereka kehendaki.
Sejak awal perekrutannya kepribadian seorang calon siswa sudah dipantau oleh pendeta utusan dari daerah calon siswa; setiap calon menerima rekomendasi dari pendeta utusan setempatnya. Para calon diuji kemampuan intelektualnya dan kesehatan badannya serta motivasinya. Setiap calon siswa harus mampu membiayai diri sendiri.
Menurut pengalaman J.Warneck, pembangunan karakter yang mencerminkan nilai-nilai hidup baru jauh lebih sulit dibanding dengan pembangunan di bidang ilmu pengetahuan keguruan itu. Ada tiga nilai hidup yang harus ditanamkan dalam setiap pribadi siswa Sekolah Guru: ketepatan waktu, keteraturan dan kebersihan . Setiap kegiatan kurikuler itu dilakukan dengan memperhatikan tiga hal tersebut di atas. Seorang siswa harus mematuhi peraturan hidup dalam kampus , asrama, rungan kelas dan ruangan terbuka. Kegiatan-kegiatan informal banyak mengisi waktu mereka dari pagi sampai malam, misalnya olah raga, music, gotong royong, mengelola ruangan kamar makan menyediakan apa yang dimasak dan kayu bakar yang dibutuhkan untuk itu. Senioritas para siswa tingkat atas difungsikan jadi senior beberapa adik kelas, sehingga m ereka membentuk keluarga-keluarga mini terdiri dari enam orang. Bagi pemimpin seminarium Johannes Warneck, meraih hasil maksimal dari semua mata pelajaran adalah penting, tetapi yang lebih penting dari situ ialah pengaruh kehidupan berasrama yang ditata dengan aturan yang ketat dan pengawasan yang konsisten demi pembentukan karakter setiap siswa.
Beliau sadar betul bahwa strategi dan metode pendidikan untuk para siswa sekolah guru itu harus dengan cara yang keras, tegas, penuh disiplin, jangan pernah kendur dalam menindak setiap pelanggaran. Orang malas cepat ditegur dan orang tidak mau berubah, sebaiknya dikeluarkan. Memang orang yang malas itu tidak mungkin dibiarkan tinggal di Seminarium, tetapi bagi orang yang rajin, dia tidak bakal mengeluh dan merasa terlampau berat belajar di seminarium Sipoholon. Bagi mereka yang rajin, proses belajar mengajar itu ibarat pekerjaan ringan, yang dikerjakan dengan penuh sukacita. Perubahan itu pada awalnya harus dikondisikan melalui sebuah tempat yang cocok ( asrama ) untuk perubahan karakter itu dan dibantu oleh pihak luar ( dosen) yang memang adalah manusia-manusia yang punya karakter yang sudah mengalami perubahan itu. Gerakan perubahan itu pada awalnya dirasa dipaksakan oleh setiap orang yang memasuki proses perubahan itu. Seorang penginjil RMG menanyakan siswa baru dari jemaatnya, bagaimana perasaannya hidup di seminari Sipoholon itu. Katanya si siswa:”rap mangangguhi do hami..!” Artinya: “kami semuanya meraung-raung!” Demikian pengalaman setiap siswa baru. J.Warneck mengibaratkan mereka sebagai “bahan baku” (“Rohmaterial”) , yang sama sekali belum pernah diolah dalam lingkungan alaminya (ditengah keluarga Batak dan desa Batak. Johannes Warneck sebagai pemimpin seminarium itu menjelaskan bahwa pada kehidupan di Seminarium itu setiap kemauan sendiri dipatahkan tanpa belas kasihan; di sana para anak muda itu harus setiap saat tampil bersih, tepat waktu, rapi dan mutlak menuruti perintah. Di sana tidak ada kesempatan untuk melawan perintah, atau ingkar atau meragukannya. Perintah adalah perintah. Sekali sudah diperintahkan, harus dipatuhi tanpa alasan. Pendidikan ala militer itu memang mengedepankan tiga unsur yang saling kait mengkait: aturan (Ordnung), tepat waktu (Puenklichkeit) dan kepatuhan yang ( Gehorsam ). Ibarat sikap seorang prajurit terhadap atasannya, demikian pola pendidikan yang diterapkan sesuai visi dan misi salah seorang pengajar yang berbakat seperti Johannes Warneck. Memang pola pendidikan sedemikian tidak mungkin berawal pada pendidikan di Seminari tetapi harus dimulai dari pendidikan dasar anak-anak Batak di tiap sekolah yang telah dibuka di pusat-pusat jemaat HKBP. Tetapi demikianlah sikap dan pandangan JWarneck ketika mengajar di seminarium Pansurnapitu dan Sipoholon. Fungsi persekutuan yang dibangun diantara sesama siswa dan dengan para pengajar serta keluarga sagat memengaruhi pertumbuhan karakter yang menunjung tinggi nilai-nilai hidup seeprti penggunaan waktu, sikap jujur, rajin dan percaya diri itu. Persekutuan yang dibangun melalui kebaktian setiap hari, pembacaan Alkitab setiap hari, dan pendampingan pastoral. Dalam kekuatan doa para guru Eropa itu bekerja dari hati ke hati antara mereka dengan para siswa. Dan hasilnya bisa disaksikan oleh J.Warneck dan rekan-rekannya. Membawa para siswa kepada Tuhan Allah dan membentuk karakter yang kristiani pada pribadi setiap siswa, itulah tujuan pendidikan itu.
Beberapa pelanggaran yang pasti mengakibatkan keluarnya seseorang dari kampus seminarium yaitu mencuri dan main judi.
Pembangunan karakter itu telah memberi kekuatan dan semangat pengabdian mereka lebih mencintai jabatan guru “sending” dengan gaji yang lebih rendah ketimbang seorang guru “sekuler” / gubernemen yang gajinya jauh lebih tinggi dari mereka. Dan sikap loyal terhadap tuan pandita mereka yang sudah tertanam waktu pendidikan itu, telah mereka hayati dengan tulus dalam melakukan dinas keguruan dan nanti dalam dinas kependetaan mereka. Status social seorang guru sending sudah setara dengan pejabat-pejabat pribumi di aras pemerintahan Hindia Belanda, tetapi mereka menunjukkan cirri-ciri khas “hagurusendingon” mereka, yaitu hidup sederhana, sehat, bersih dan mengabdikan diri pada tugas keguruan mereka dan tidak tergiur untuk pingah jadi pegawai negeri pemerintah Belanda.
4.2. “Pandita Batak” (bataksche Prediger).
Meniti pelayanan sebagai pendeta pribumi harus didahului oleh pengalaman sebagai guru “sending” yang berada di bawah pengawasan para pemimpin atau atasan mereka, para tuan pendeta Jerman. Para guru yang telah menunjukkan kepribadian yang utuh sebagai guru dan perilaku yang berpenampilan seorang guru “sending” dan bukan sebagai guru “sekuler”, guru yang berada di luar lingkungan sending dan gereja. Loyalitas terhadap tugas sebagai guru sekolah dan guru jemaat kepada atasannya pendeta utusan Jerman, dapat meyakinkan pemimpinnya itu untuk diajukan jadi calon pendeta, yang setiap dua tahun menerima maksimal 12 siswa calon pendeta bersama keluarga masing-masing memasuki kembali seminarium Sipoholon. Selama dua tahun mereka menerima mata pelajaran yang khusus melengkapi mereka untuk melayani jemaat secara khsusus di bidang khotbah, pengajaran dan penggembalaan, dan kepemimpinan. Mereka selama dua tahun membentuk komunitas sendiri bersama keluarga calon pendeta, di mana para isteri diberi pendampingan dan pemberdayaan oleh para isteri dosen, pendeta utusan Jerman, baik di bidang pengetahuan umum dan khusus tentang ketrampilan kaum perempuan dan juga etika hidup sebagai isteri pendeta. Bagaimana Johannes Warneck memahami pendidikan yang beliau berikan bersama rekannya kepada para calon “Pandita Batak”, Pengkhotbah Pribumi (“bataksche Prediger”, dan bagiamana beliau melihat keberhasilan dan kegagalan para alumni Seminari itu, dapat kita sajikan di bawah ini.
4.3. Refleksi Pimpinan Seminarium.
Bagi Johannes Warneck (1867-1944) pendidikan teologia yang beliau berikan dan pimpin mulai dari Pansurnapitu (1896-1901) dan dilanjutkan di Sipoholon (1901-1906) telah beliau pergumulkan supaya beliau dengan rekannya benar-benar berjalan pada jalur yang tepat, yaitu memberikan apa yang dibutuhkan oleh para calon pemimpin jemaat,gereja dan kaum Batak, dan disamping itu mampu mengukur kesanggupan para calon pemimpin itu. Pengetahuan dan ketrampilan para calon pendeta itu mestinya lebih tinggi dari apa yang sudah dicapai oleh para guru jemaat dan sekolah. Menurut beliau motivasi para calon pendeta cukup tinggi, mereka mengerjakan tugas-tugas mereka penuh semangat dan berani meghadapi masalah-masalah. Nilai jabatan pendeta itu mendorong mereka untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga. Semangat dan tekat sedemikian rupa baru beliau temukan di kalangan para calon pendeta. Johannes Warneck memuji kemampuan mereka memikirkan kasus-kasus dogmatis dan etis yang berhubungan dengan konteks kehidupan kaum Batak. Dan dalam situasi demikian, Johannes Warneck harus menahan diri supaya diskusi itu jangan sampai sebatas teori yang biasanya beliau lakukan di dunia universitas yang sudah beliau tinggalkan di Jerman. Beliau memimpin diskusi itu dan membiarkan jalannya diskusi sepanjang masih bermanfaat buat para calon pendeta di kalangan kaum Batak, bukan di luarnya. Beliau tetap pada tujuan pendidikan teologia itu, yaitu apa yang bermanfaat buat mereka dan apa yang mereka butuhkan untuk jabatan mereka sebagai pendeta. Semua mata pelajaran yang diberikan selama dua tahun pendidikan selalu focus pada kedua pertanyaan itu: apa yang mereka butuhkan buat jabatan kependetaan mereka dan seberapa banyak yang dapat mereka terima? Buat beliau adalah gampang untuk memberikan lebih banyak ilmu teologia yang dapat didisuksikan secara teoretis-ilmiah. Namun yang beliau takutkan, jangan-jangan mereka nanti terlepas dari akar pribuminya dan dari masalah-masalah teologis dan social yang sedang meliputi kehidupan kaum Batak. Pada hal itulah nantinya tujuan pelayanan mereka. Jembatan yang menghubungkan para calon pendeta dengan kaumnya masyarakat Batak kiranya jangan runtuh sebab ilmu teologia yang mereka raih.
Untuk itu Johannes Warneck telah melihat bahwa pusat dari kurikulum itu ialah firman Tuhan. Belajar bahasa Junani dan bahasa Ibrani, belum dibutuhkan, namun beberapa istilah dalam bahasa aslinya Alkitab, perlu juga diperkenalkan. Beliau berupaya memakai dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa teologia dan bukan bahasa Jerman atau bahasa Belanda. Keterbatasan waktu membuat Johannes Warneck membuat keputusan tidak perlu belajar bahasa Jerman, sekalipun itulah yang sangat ideal, karena andaikata mereka dapat membaca buku berbahasa Jerman pasti beliau dapat menyajikan buku-buku Jerman yang dapat membangun motivasi mereka supaya lebih mampu membangun pribadi mereka sebagai pendeta yang penuh motivasi untuk melayani di ladang Tuhan. Buku-buku yang dapat membangun kerohanian / spiritualitas calon pendeta sungguh dibutuhkan. Para calon pendeta butuh pengetahuan secara umum tentang ajaran-ajaran Kristen, yang berpusat pada pribadi dan Karya Kristus. Beliau memilih beberapa tema dogmatis dan alkitabiah untuk dibahas bersma. Bahan diberikan secara tertulis supaya dibacakan lalu didiskusikan. Sedapat mungkin diskusi diarahkan pada agama suku Batak yang dikenal saat itu dengan nama “kekafiran Batak dulu” (“altbataksche Heidentum”) baik dari segi pencarian istilah-istilah Batak untu dijadikan sebagai pencarian titik temu ajaran atau kepercayaan Kristiani dengan agama suku Batak, a.l. istilah-istilah dogmatis seperti sesajen menebus kesalahan, atau konfrontasi dengan unsur-unsur agama Batak dulu yang dianggap bertentangan dengan ajaran keprcayaan Kristiani. Warneck menilai cara pendekatan itu sangat bermanfaat ketimbang memberikan pelajaran tentang perkembangan dogma Kristen di dunia Kristen Eropa. Para calon pendeta butuh pengetahuan di bidang Moral / Etika yang dapat mencakup seluruh proses kehidupan manusia Batak sejak lahir hingga akhir khayat. Pengethauan Moral itu dapat membantu setiap calon pendeta untuk memrikan sinar Injili kepada manusia Batak sesuai proses hidupnya sejak lahir hingga nanti meninggal dunia. Bagaimana nanti mdemmanfaatkan unsure-unusr adat kebiasaan Batak yang sesuai dengan moral Kristiani dalam bidang kehidupan Kristen, a.l. di tengah keluarga, pendidikan anak-anak, hubungan suami-isteri, kehidupan sebagai warga negara yang baik, dll. Warneck berupaya juga membangun istilah-istilah baru yanyg sulit ditemukan dalam pandangan hidup Batak. Menurut beliau istilah-istilah itu ialah: penghargaan atas sikap dan perilaku seseorang oleh pihak lain mauoun oleh diri sendiri (“Ehre”), hati nurani (“Gewissen”), kesalahan “ (“Schuld”), hemat (“Sparsamkeit”), harga diri (“Ehrgefuehl”); atau bagaimana mentransformasikan ke dalam pemahaman Batak apa yang dimaksud dengan “kegiatan kasih Kristiani” (“christliche Barmherzigeit”). Atau tentang nilai karya atau beda antara kehidupan politis dan kristiani, dll. Mata pelajaran moral dan etika mesti diberikan sedekat mungkin pada kehidupan praktis manusia dan masyarakat Batak. Mata pelajaran etik mesti menjawab masalah-masalah kehidupan praktis Batak. Dari segi kemampuan warga jemaat yang belum lama meninggalkan agama suku Batak itu menurut Warneck lebih mudah mempelajari apa yang dipercayai seorang Kristen, dan sangat sulit mentranformasikannya kepada kehidupan moral dan etis mereka. Tugas dari mata pelajaran etika Kristen di seminari ialah supaya etika yang dipelajari itu semudah mungkin digunakan segampang mungkin dapat merubah perilaku manusia Batak menjadi perilaku yang bertolak dari nilai-nilai Kristiani. Warneck mengakui alangkah sulitnya bagi beliau dan rekannya melakukan hal itu, karena beliau sudah terbiasa berpikir akademis. Keluar dari kebiasaan itu dan menyelam memhami dunia falsafah hidup Batak yang asing itu, adalah suatu tugas yang cukup sulit. Pengenalan beliau pada dunia rasa dan falsafah hidup Batak masih terbatas sekalipun beliau sudah melakukan observasi dan peneilitian untuk itu. Mata pelajaran etika untuk para calon pendeta itu menuntut pengetahuan yang cukup dalam pada kehidupan sosial, pikiran dan perasaan Batak. Buat Warneck mengajarkan mata pelajaran etika adalah mata pelajaran yang paling sulit, tetapi juga mata pelajaran yang paling diminati beliau dan paling berhasil beliau lakukan.
Bidang katekhetik dan pedagogik bagi calon pendeta juga penting, karena mereka kelak jadi pengawas sekolah di jemaat di mana mereka melayani. Sedapat mungkin diupayakan pelatihan katekhetika, khususnya pelatihan bagaiamana mengajar para calon baptis dan juga para calon konfirmanden. Untuk itu para pendeta utusan harus menciptakan buku pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan para calon pendeta pribumi, bukan menerjemahkan buku-buku katekhetik berbahasa Jerman.
Mata pelajaran teologia pastoral ( “Pastoraltheologie”) dan penggembalaan (“Seelsorge) diramu sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan para calon pendeta pribumi. Tujuannya harus diupayakan sesederhana mungkin, karena menurut Warneck kepribadian calon pendeta itu belum mampu memerankan sebagai penggembala. Namun bidang itu sedemikian penting karena mutu jabatan mereka sangat bergantung pada kemampuan mereka melakukan pelayanan pastoral dan penggembalan itu. Mata pelajaran ini akan memberikan gambaran yang jelas atas tugas dan tanggugjawab mereka, sehingga menumbuhkan rasa tanggungjawab mereka sebagai pendeta, penggembala. Melalui mata pelajaran ini Warneck akan memnujukkan bahwa kebangkitan bangsa Batak akan semakin Nampak melalui tugas penggembalaan mereka. Juga melalui mata pelajaran ini mereka diberdayakan menjadi pemimpin bagi para pelayan lainnya, seperti para guru yang berada di bawah pengawasan mereka, mengawasi proses belajar mengajar di sekolah, memberdayan dan mendamingi para penatua. Dan bagaimana cara mereka berhadapan dengan para raja desa dan pegawai pemerintah. Berhadapan dengan para raja desa aalah suatu babak pekerjaan yang cukup banyak menyita pikiran dan tenaga para pelayan gereja, demikian catatan Warneck. Melalui mata pelajaran pastoral dan penggembalaan, para calon pendeta diberikan petunjuk bagaimana memahami isi Agenda gereja dan seluruh pelayanan yang menyangkut liturgy, a.l. pelayanan yang khusus hanya dilakukan oleh seorang pendeta / klerikel ( “decorum” / “clericale”, seperti baptisan, perjamuan kudus dan pernikahan). Juga tentang apa artinya gereja dan symbol-simbol gerejawi, juga sedikit tentang music gerejawi. Penatalayanan di bidang keuangan dan admistrasi juga diberikan dalam mata pelajaran pastoral dan penggembalaan itu. Melalui mata pelajaran ini Warneck membicarakan secara mendalam tentang apa arti dan tujuan siasat gereja, yang memang fusngsinya jauh beda penggunaanya di Tanah Batak dari pada di Tanah Jerman. Setiap pokok bahasan diberi kesimpulan yang ditulis dalam buku diktat para calon pendeta dan itulah jadi pegangan praktis buat mereka di lapangan pelayanan mereka usai sekolah pendeta.
Sekali lagi Warneck menekankan bahwa seluruh proses belajar mengajar dilakukan bukan supaya para calon pendeta menjadi para ilmuwan teologi; bukan kuliah yang berkarakter akademis-ilmiah, tetapi terfokus pada kebutuhan praktis calon pendeta itu kelak sebagai pelayan dan pemimpin jemaat. Proses belajar-mengajar itu bertujuan membangun kepribadian para calon pendeta yang terdalam supaya lebih dewasa dan lebih kuat. Iman mereka bertumbuh semakin dewasa seiring dengan perkembangan pengetahuan mereka. Itulah tujuan pokok dari pendidikan itu.
Studi selama dua tahun diakhiri dengan ujian akhir yang dilaksanakan oleh sebuah komisi. Kemudian mereka menerima tahbisan atau ordinasi pendeta, biasanya dikaitkan dengan waktu konferensi para pendeta utusan. Dan akhirnya mereka ditempatkan di sebuah jemaat, biasanya di jemaat keberangkatan mereka ke sekolah pendeta.
Pendidikan itu tidak berakhir di Seminari tetapi harus dilanjutkan masing-masing pendeta secara pribadi selama hidupnya. Membaca buku-buku yang berkaitan dengan jabatan mereka patut dibaca, sayangnya demikian Warneck, buku-buku sedemikian rupa masih langka, dan tugas para pendeta utusan ialah menulisnya. Namun Warneck menyebut beberapa peluang untuk terus meningkatkan pengetahuan dan dan mutu kepribadian sebagai pendeta Batak. Pertama bimbingan dan arahan dari pendeta utusan setempat yang membawahi beberapa pembantunya, guru dan pendeta, masih dibutuhkan. Seorang pembantu yang selalu bekerja di bawah bimbingan dan pengawasan pimpinannya selalu sukses mengerjakan pekerjaannya, tetapi begitu lepas dari bimbingan dan pengawasan itu, maka mutu pekerjaannya berkurang dan membawa kerugian. Demikian juga di bidang kepribadian, mereka kembali kepada sifat-sifat lamanya yang kurang mengahargai waktu dan peraturan. Seorang pendeta belum sanggup menegerjakan pekerjaannyan secara mandiri. “Jurang antara pendeta yang paling rajin dan seorang missionar (pendeta utusan) masih menganga lebar, bukan hanya di bidang pengetahuan tetapi juga dimata sesama Batak”, demikian Warneck. Banyak dari para pembantu ( guru dan pendeta ) yang dalam beberapa hal lebih sukses dibanding dengan para pendeta utusan, misalnya di bidang khotbah dan penginjilan seperti Pdt.Markus Siregar di Padangbolak atau para guru dan pendeta yang mengelola lembaga sending pribumi “Pardonganon Mission Batak” (PMB). Namun Warneck menyayangkan sikap Batak yang tidak menghargai keberhasilan sesamanya Batak. Orang Batak yang beliau kenal itu selalu lebih mengharagai dan menghormati mereka para tuan pandita dari Jeman. Mungkin andaikata didatangkan pendeta dari Ambon atau Minahasa, barangkali penghargaan kepada mereka itu sebagai orang asing akan lebih tinggi dibanding kepada sesamanya Batak. Bimbingan dari para pendeta utusan itu tidak dapat ditawar-tawar, karena mereka tetap masih unggul baik di bidang pengetahuan maupun di bidang karakter kepemimpinan serta pandangan Batak kepada mereka sebagai pimpinan yang lebih dihormati, dihargai dan diakui. Kemandirian yang paling lemah dari para pendeta pribumi ialah pengelolaan keuangan jemaat. Adalah sesuatu hal yang tidak mungkin menyerahkan tugas pengelolaan keuangan kepada para pendeta Batak kalau tidak dibarengi oleh pengawasan yang ketat dan kontinu. Mereka bukan berbohong, bukan mencuri, tetapi mereka tidak menghargai uang yang bukan miliknya. Uang jemaat dianggap uang asing, yang tidak berada di bawah tanggungjawabnya. Mereka tidak menunjukkan kepedulian terhadap uang jemaat.
Perhatian akan perbedaan yang mencolok antara para pembantu ( guru dan pendeta Batak) dengan para utusan RMG ( pendeta resort, praeses dan ephorus) tidak serta merta meniadakan beberapa pujian yang patut diberikan kepada para pembantu itu. Ada yang berbakat dan ada pula yang tidak berbakat; ada yang jujur, tetapi ada pula yang curang. Pada umumnya mereka tidak berbakat berkomuniaksi dengan anak-anak. Mereka menempatkan anak-anak sama keberadaanya dengan orang dewasa. Mereka berbicara kepada anak-anak sama seperti berbicara kepada orang-orang dewasa, di ruangan sekolah dan diluarnya. Di bidang khotbah umumnya mereka mampu dan juga di bidang pelayanan lainnya di jemaat. Ada pembantu yang sukses melayani di daerah yang mayoritas masih memeluk agama suku, tetapi ada yang lebih mampu berkomukiasi dengan pribadi-pribadi warga jemaat. Ada pembantu yang perlakunya tidak ubahnya dengan anggota jemaat biasa, yang kuat dikuasi kebiasaan lama, cepat jatuh ke perselisihan dan dirasuk rasa cemburu terhadap sesama pembantu. Dan anehnya lagi ialah melihat perilaku beberapa pembantu ( guru dan pendeta) yang berlaku sebagai pemeo yang mencoba berpenampilan dan bergaya seperti tuan pandita, sedang karakter mereka tetap memperlihatkan karakter lama manusia Batak.
Pada umumnya perilaku para pembantu di bidang etika dan moral sudah lebih baik disbanding dengan perilaku warga jemaat biasa. Hal ini sangat menggembirakan J.Warneck. Dosa purba manusia Batak ialah dusta dan perselisihan. Para isteri guru dan pendeta sudah lebih cerdas mendidik anak-anak mereka; hubungan suami-isteri yang lebih serasi dan lebih tabah menghadapi masalah-masalah yang menimpa keluarga, khususnya saat dirundung kematian. Hubungan diantara sesama mereka pembantu ( guru dan pendeta) diikat oleh kasih dan persaudaraan. Persauadaraan mereka menimbulkan perhatian warga jemaat dan masyarakat sekitar, sehingga mereka ingin meladani. Bagi Warneck perkembangan sangat mendukung proses pertumbuhan sebuah gereja yang disebut Warneck sebuah “Gereja Bangsa” ( Gereja Rakyat, “Vokskirche”). Gereja Batak dimata Warneck adalah ibu pendidik yang ampuh bagi suku bangsa / raykat Batak. Gereja Batak adalah guru yang terbaik buat manusia Batak dan suku bangsa Batak. Dan inilah bagi Warneck tujuan jangka panjang dari mereka yang datang dari benua Eropa. Untuk itu Warneck sendiri menilai dirinya dan teman-temmannya tidak bakal mampu kecuali dengan bimbungan dan pertolongan Roh Kudus. Hanya dengan kekuatan Roh Kudus, beliau mampu menempatkan dirinya sebagai orang Batak di kalangan para calon pemimpin gereja dan masyarakat Batak. Dan sebagai pendidik mereka yang bakal pemimpin gereja dan kaum Batak, beliau sering mengeluh dan berduka melihat ketidakberdayaan dan kegagalan mereka. Dan bukan hanya sampai di sana refleksi beliau tetapi tiba pada satu pernyataan bahwa dia sebagai pemimpin harus mengakui kelemahan dan kesalahannya. Beliau bersama rekan-rekannya pendeta utusan sering gagal untuk menyangkal diri. Karena hanya dengan kerelaan untuk menyangkal diri sebagai tuan pandita, tuan yang dihormati, tuan yang paling mampu di bidang pengetahuan dan karakter. Hanya dengan penyangkalan diri itu maka mereka tuan pandita benar-benar dapat menjadi orang Batak di tengah kalangan orang Batak. Demikian refleksi J.Warneck tentang kepemimpinannya sendiri. Kelemahan dan kesalahan bukan hanya di pihak kaum pembantu, tetapi juga dari pihak pendidik, pemimpin.
4.3. Pendeta pribumi dan jemaat di daerah parserahan.
Bagaimana menjadi seorang pelayan sekaligus pemimpin masa depan Gereja HKBP yang sedang menjadi itu bergantung pada kearifan masing-masing mengembangkan dirinya. Dan kesempatan untuk itu nampaknya lebih terbuka bagi mereka yang lebih banyak mengenal ragam tempat dan daerah lingkungan jemaat-jemaat HKBP yang sudah bertebaran di seluruh pelosok Tanah Batak dan juga di parserahan di Tanah Alas, Aceh,Deli dan Jawa. Mereka tidak langsung berada di bawah bimbingan dan pengawasan tuan pandita, sehingga mereka lebih bebas mengembangkan kemandiriannya di bidang kepemimpinan baik untuk diri sendiri maupun dalam mencari solusi masalah yang mereka temukan. Kepercayaan Ephorus menempatkan mereka ke daerah-daerah parserahan tidak disiasiakan mereka. Menjadi pemimpin masa depan jemaat dan gereja (HKBP) bukan dipelajari hanya di seminarium dan di tetapi di jemaat-jemaat parserahan ( perkotaan ) serta di daerah-daerah sending ( daerah yang masih di huni oleh mereka yang masih menganut agama suku Batak dan agama-agama lainnya). Mereka yang pernah ditugaskan menjadi Pendeta Evangelis memperoleh peluang untuk memandirikan diri sebagai calon-calon pemimpin. Mereka jauh dari pusat kekuasaan dan otoritas tuan pandita. Sekaligus mereka dapat mengenal suatu tipe baru dari jemaat, yaitu jemaat yang lebih sadar akan hak da tugas kemandiriannya sebagai jemaat. Sebagian kecil dari jemaat di parserahan itu sudah lengkap dengan majelis jemaat dan ketua jemaat ( Jakarta dan Medan sejak tahun 1910an).
5. Jalur baru SDM Pendeta HKBP 1934.
Atas prakarsa badan-badan sending di Hindia Belanda dibuka sebuah jalur SDM kepemimpinan gereja-gereja “muda” di Hindia Belanda, Batavia 1934 yaitu “Hoogere Theologische School” (HTS) setingkat STT kini. HKBP ikut sebagai pendiri dari pendidikan teologia itu dan mengirim tiga mahasiswanya untuk gelombang pertamanya (1934-1940): Karimuda Sitompul, Paido Tua Sarumpaet dan Tunggul Somuntul Sihombing. Mereka adalah utusan resmi dari HKBP melalui seleksi dan rekomendasi Ephorus HKBP Landgrebe ( periode 1932-1936). Para mahasiswa berikutnya utusan HKBP pada gelombang berikutnya: Kondar Ritonga, Amintas Sitorus, Gustaaf Siahaan, Ferdinand Siregar, Nalom Siahaan dan Andar Lumbantobing (Almanak HKBP 1941). Mereka studi di Jakarta bukan dengan tujuan menjadi pembantu para gtuan pandita Jerman, tetapi setara dengan mereka. Itulah bedanya pendeta lulusan HTS Jakarta dan pendeta lulusan Seminari Sipoholon. Mereka menuntut ilmu teologia dan menerima beragam mata kuliah dengan kemampuan nalar sendiri dengan pisau analisa dan interpretasi. Dari segi akademis mereka yang lulus statusnya dianggap setara dengan para pendeta utusan. Mereka dipanggil “Domine” (Ds), panggilan yang biasanya hanya ditujukan kepada para pendeta utusan Belanda. Karimuda Sitompul dan teman-temannya dipanggil dengan sebutan atau gelar Domine Karimuda Sitompul, bukan Pendeta Karimuda Sitompul.
Dari segi usia dan lingkungan di mana mereka belajar, maka situasi jauh beda dengan situasi pedesaan dan kedaerahan lingkungan tempat para calon guru dan calonpendeta lulusan Seminari Sipoholon. Para calon pendeta dari HTS. Batavia telah bergaul dengan siswa dari suku bangsa lain, ikut organisasi pemuda yang sedang merasakan kebangkitan kebangsaan manusia pribumi. Wawasan mereka jauh lebih luas ketimbang para calon guru dan pendeta lulusan Sipoholon.
Dari segi pendidikan teologi dan wawasan itu , merekalah yang dianggap mampu menggantikan posisi kepemimpinan para tuan pandita Jerman RMG yang secara terpaksa harus meninggalkan jabatan kepemimpinan itu sejak 10 Mei 1940. Dan sebelum penangkapan para utusan RMG 10 Mei 1940, mereka sudah ditempatkan di jemaat-jemaat di HKBP untuk melakukan masa prakteknya di bawah pimpinan pendeta resort ( tuan pandita Jerman) setempat. Beberapa bulan sesudah Sinode Istimewa HKBP Juli 1940, mereka menerima tahbisan pendeta di HKBP Pearaja Tarutung dipimpin oleh Voorzitter Pdt.Kasianus Sirait 27 Oktober 1940 (Almakan HKBP 1941). Ds.P.T.Sarumpaet ditempatkan pendeta resort di HKBP Pearaja,Turutung, Ds.K.Sitompul di HKBP Balige dan Ds.T.S.Sihombing di HKBP Sipirok. Peningkatan SDM kepemimpinan HKBP sudah mencapai tingkat pendidikan para tuan pandita Jerman RMG, namun pencapaian itu belum memberikan dampak nyata pada proses penyerahan kepemipinan HKBP dari tangan para tuan pandita Jerman RMG.
6. Jalur SDM Pendeta HKBP pada masa transisi 1940an/50an..
Dengan berakhirya kepemipinan para pendeta utusan RMG Juli 1940 itu, berakhir pula cara pembentukan sumber daya calon pemimpin pelayan pribumi di Seminari Sipoholon yaitu menciptakan tenaga guru yang berfungsi ganda ( guru di sekolah dan guru di jemaat ) serta pembentukan karakter secara militer. Menata kembali pembentukan sumber daya pemimpin pelayan di HKBP ala zaman Sending RMG (1861-1940) kemungkinannya sangat kecil karena kondisi-kondisi zaman Sending tidak mungkin dikembalikan dan HKBP tidak berniat untuk itu. Penyediaan SDM kepemimpinan HKBP nampaknya harus dilanjutkan sesuai kondisi baru. Salah satu masalah yang dihadapi HKBP pasca zaman Sending ialah berkurangnya secara draastis jumlah para guru huria. Banyak guru “sending” melepaskan jabatannya sebagai pemimpin jemaat untuk dapat bertahan sebagai guru sekolah, sesuai kebijakan “Batak Nias Zending” (BNZ), suatu badan sending ciptaan para pejabat sending Belanda di Jakarta, yang secara sepihak mengambil alih tugas Sending RMG di bidang pendidikan dan kesehatan. Tanpa konsep yang pasti HKBP melanjutkan pendidikan para pelayan HKBP, khususnya para calon guru untuk secepat mungkin mengisi kekosongan guru jemaat tersebut. Secara darurat HKBP membuka kursus guru “huria” di beberapa pusat distrik di HKBP, misalnya di Balige, Narumonda, Tarutung, Padangsidempuan, dll. Disamping itu kepada jemaat diberi kebebasan untuk mengangkat salah seorang dari sintua/penatua jemaat setempat untuk menjadi guru angkatan atau wakil guru jemaat. Proses transisi itu berdampak negative bagi sumber daya calon pemipimpin pelayan HKBP, yaitu calon para pendeta. Kemudian Sekolah guru huria dibuka Agustus 1946 di seminarium Sipoholon dan sekolah pendeta 1947. Staf pengajarnya sekaligus yang memimpinnya diberikan kepada salah seorang alumni STT (HTS) Jakarta (1934-1940) dan yang sudah menerima tahbisan pendeta oleh HKBP, yaitu Ds.T.S.Sihombing.
II. Periode 1950-2011.
7. Membuka jalur baru: Sekolah Theologia Menengah (S.Th.M.) 1950.
Paralel dengan model lama Sekolah Pendeta zaman Sending, perekrutan dari para guru sending , pada 4 Nopember 1950 HKBP membuka sebuah jalur baru buat para lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), setara SMP kini. Pendidikan itu diberi nama “Sekolah Theologia Menengah” (S.Th.M.) di Seminarium Sipoholon di bawah pimpinan Tuan Domine Ds.T.S.Sihombing. Bagi sebagian kaum muda HKBP dan warga HKBP pendidikan itu dianggap sebagai Sikola “Tuan”, sekolah yang bakal mencetak “tuan”, pemimpin yang terhormat / disegani di tengah HKBP dan masyarakat, seperti dikenang oleh Ds.P.M.Sihombing pada saat beliau memasuki dunia pendidikan teologi 1950an .
Tujuan pendidikan ialah mempersiapkan calon pelayan pemimpin di HKBP dengan pribadi yang utuh, ilmu pengetahuan alkitabiah-teologis serta punya spiritualitas kepelayanan. Tujuan itu tidak beda dengan tujuan pendidikan sekolah guru sending dan sekolah pendeta zaman Sending, namun caranya sudah beda dengan cara zaman Sending. Hal ini bisa dipahami karena latarbelakang para siswa dan lingkungan sudah berubah, demikian juga latarbelakang para pemimpin pendidikan yang beragam itu, karena mereka berasal dari pendidikan Seminarium Sipoholon zaman Sending dan pendidikan di Jakarta dan pendidikan teologia lainnya di India, USA dan Jerman. Peraturan asrama tidak seketat dulu dan sikap paternalisme sudah ditinggalkan, dan diganti dengan sikap yang lebih terbuka antara para dosen dan para siswa.
Tradisi di bidang peribadahan tetap dilanjutkan yang berpusat pada kebaktian pagi dan malam di Aula yang sama dan gaya kebaktian yang sama. Pengelolaan asrama masih dipercayakan pada para siswa, dari proses penerimaan uang asrama dan beras asrama hingga penyajian makanan di ruang kamar makan. Pada hari libur panjang ( 3 bulan ), para siswa/siswi tingkat atas melakukan praktek di jemaat-jemaat HKBP di bawah bimbingan pendeta resort setempat. Lama pendidikan: 5 tahun. Jalur ini berlangsung sampai tahun 1967 dan penerimaan siswa terakhir 1963.
8. Fakultas Teologia sejak 1954.
Seiring dengan dibukanya Fakultas Teologia di Universitas HKBP di Pematangsiantar 1954, pendidikan teologia S.Th.M. dipindahkan ke Pematangsiantar. Kepada lulusan S.Th.M. yang terbaik diberi kesempatan untuk mendaftarkan diri jadi mahasiswa Fakultas Teologia Universitas HKBP sejak 1954. Dan sebelum mereka memasuki perkuliahan mereka sudah ditahbiskan jadi pendeta. Bagi sebagian mereka yang masuk dan khususnya para orang tua menganggap bahwa anak-anak mereka masuk ke Sekolah Tuan , Sekolah Domine, seperti Sekolah Domine di Jakarta. Lulusan perdana S.Th.M. adalah tahun 1956. Kesempatan untuk lulusan S.Th.M. masuk ke Fakultas Theologia hingga terbuka hingga akhir 1950. Dari 28 lulusan S.Th.M. stambuk 1956 diambil 12 orang jadi mahasiswa perdana Fakultas Teologia tahun ajaran 1954 dan seorang mahasiswa asal lulusan SMU ( Adelbert Sitompul ).
Khusus di bidang Teologia peningkatan mutu pendidikan teologi itu sangat pesat. Studi lanjut untuk mengambil program pascasarjana ke manca negara sudah dimulai sejak 1950an, ke USA dan ke Jerman. Mereka dipersiapkan jadi dosen di Universitas HKBP Nommensen bidang Ilmu Teologia. Dr.Andar Lumbantobing telah menyelesaikan studinya di Jerman (1957) dan segera pulang ke Indonesia dan ditempatkan mengajar di Fakultas Teologia, demikian Dr.Sutan M.Hutagalung dari USA, dll. Tenaga dosen dari manca Negara secara berangsung berkurang tanpa mengganggu jumlah staf pengajar. Salah satu dari antara mata kuliah yang diberikan di Fakultas Taologia ialah mata kuliah di bidang bahasa Alkitab, Ibrani dan Yunani sebagai mata kuliah wajib. Untuk Sarjana Teologia lamanya 5 tahun. Ini berlangsung sampai 1968.
Sejak 1969 masa pendidikan dibagi atas dua bagian. Tingkatan yang pertama ialah pndidikan untuk gelar Sarjana Muda Teologi (S.M.Th.) dengan masa pendidikan empat tahun. Tingkatan yang kedua ialah pendidikan untuk gelar Sarjana Theologia (S.Th.) , yang merupakan lanjutan dari S.M.Th. selama dua tahun. Program studi S.Th. sudah mengarah pada jurusan yang dipilih (7 jurusan. Ujian akhir (tertulis) dilakukan pada tahun ke-6. Mereka yang lulus ditugaskan melakukan studi lapangan di dua tempat (resort), yakni perdesaan dan perkotaan, masing-masing selama dua bulan. Usai studi lapangan mereka menulis skripsi dalam bidang jurusannya, lalu skripsi dipertahankan di hadapan dewan penguji pada ujian lisan, sebagai ujian akhir.
Setiap orang yang lulus ujian dianggap telah mampu berpikir sendiri secara mandiri dalam menganalisa dan menginterpretasi satu masalah dari segi Teologia. Kemandirian mengutarakan pendapat secara teologis telah diberikan kepada setiap orang yang sudah meraih gelar S.Th. Mereka akan bekerja di tengah-tengah jemaat dan masyarakat sudah berbekalkan kemandirian dalam mengenal, menganalisa dan membedah masalah-masalah yang dihadapi berdasarkan pisau teologis dan pastoral serta terbuka pada bimbingan Roh Kudus.
Perubahan status Fakultas Teologia menjadi Sekolah Tinggi Teologia (STT-HKBP) 1978 tidak merubah kurikulum program studi S.M.Th. dan S.Th. Perubahan status diharapkan supaya pendidikan teologia itu lebih dekat pada organisasi / pemimpin HKBP, baik dari segi pengelolaan maupun dari segi arah dan tujuan pendidikan Teologia itu sendiri.
STT-HKBP memasuki perubahan 1981 ketika sistem kredit diberlakukan sesuai peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia. Program studi S.M.Th. membutuhkan kredit minimal 145 dan lamanya minimal 7 semester dan maksimal 10 semester. Program S.Th. memerlukan minimal 200 termasuk skripsi sebanyak 6 kredit. 1988 dibuka program Master of Divinity (M.Div.) yang setara dengan program S.Th.
Program studi pasca-sarjana dibuka sejak 1981 strata 2 (M.Th.) dan strata 3 ( Doktor Theologi ). Sebelumnya sejak 1970 sudah dibuka program pasca-sarjana selaku anggota “The South East Asia Graduate School of Theology” (ATESEA).
Sejak 1982 diperkenalkan “Metode Studi Kasus” yang terbuka bagi semua pendeta yang sednag melayani di gereja-gereja yangada di Sumut. Metode ini sangat bermanfaat bagi setiap pelayan untuk memahami masalah-masalah di dalam jemaat dan di dalam masyarakat sekitar jemaat dan mencari jawaban patoral kasus-kasus yang dipelajari. Inilah langkah awal di beberapa STT di Indonesia untuk membuka program “Doctor of Pastoral Studies” (DPS) di STT-HKBP Pematangsiantar, Dutawacana di Yogyakarta dan di Kupang, NTT. Program ini bukan mencetak ahli di bidang akademis, tetapi di bidang professional. Satu gelombang sempat selesai dan mereka yang lulus ujian menerima gelar DPS. Inilah satu pendekatan baru di dunia pendidikan Teologia di STT-HKBP Pematangsiantar. Program ini memebri peluang bagi setiap pendeta untuk memahami masalah-masalah dalam dan sekitar jemaat yang dianalisa dari berbagai segi ilmu ( sosiologi, antropologi dan psikologi ) dan kemudian membuat jawaban terakhir dari segi teologi-pastoral.
9. Mutu Ilmu Teologia.
Mutu ilmu Teologia di perguruan tinggi Teologia HKBP sejak 1954 hingga kini tidaklah diragukan. Namun bagaimana mutu pendidikan karakter yang pada zaman sending masih bagian integral dari pendidikan itu. Upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pendidikan karakter setiap calon pendeta itu selalu diupayakan, melalui pengadaan asrama, kegiatan-kegiatan-kegiatan nonkurikkuler, retret, perkunjungan ke jemaat-jemaat, rasa persaudaraan abang-adik sesama mahasiswa, dll. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan teologia itu telah focus pada pembenahan diri dari segi ilmu yang kognisif, dan kurang berhasil memberi nilai tambah dari ilmu teologia itu dari segi spiritualitasnya. Setiap calon pendeta yang lulus dengan meraih izasah S.Th. merasa bahwa dia pasti berhasil melayankan suatu jabatan yang disebut pendeta yang bergelar akademis Sarjana Teologia. Seperti apa jabatan itu, apa bedanya dengan jabatan sekuler yang diraih dengan gelar sarjana, mungkin baying-banyangnya ada, tetapi seperti apa sebenarnya, itulah yang diharapkan dia terima dan kemudian gumuli selama dua tahun masa praktek. Dan pada prinsipnya itulah yang jadi focus evaluasi dari tahap ke tahap hingga pada suatu hari menrima jabatan hapanditaon itu.
10. Pergumulan Dan Tantangan.
Setiap mahasiswa Teologi pasti mengalami pergumulan pribadi saat dia belajar Teologia sebagai Ilmu. Dunia pendidikan di Indonesia telah pula mengakui bahwa Teologia itu adalah Ilmu, yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademis. Jadi teologia itu bukan sekadar bagian dari sebuah agama yang bersifat magis dan sakral. Ilmu Teologia adalah sebuah ilmu yang mencerahkan pikiran dan dapat mencari solusi ilmiah akademis. Kaum pendeta sebagai elit HKBP di bidang ilmu Teologia tidaklah diragukan, namun bagaimana kesiapan mental-spiritualnya, sehingga Ilmu Teologia itu adalah hasil pikiran orang-orang yang beriman, orang-orang yang tetap berpusat pada pusat Ilmu Teologia itu sendiri yaitu Firman yang diajarkan dan dikotbahkan serta dirayakan melalui dua skramen kudus, baptisan dan Roh Kudus, sehingga Yesus Kristus yang bangkit itu tetap jadi Kepala ( Raja ) Gereja. Itulah yang menjadi pergumulan kolektif dan eksistensial setiap pendeta lulusan perguruan tinggi teologia Pematangsiantar ( Fakultas Teologia dan STT-HKBP). Pergumulan itu terjadi secara sadar atau tidak, bergantung pada pribadi calon pendeta itu. Latarbelakang pergumulan itu bisa beragam, dari pergumulan ekonomi, laterbelakang masuknya ke dunia pendidikan itu ( atas pilihan sendiri, didorong bahkan dipaksa atau mencari sumber pendapatan, dll ). Seorang calon pendeta bergumul apakah jabatan yang akan diterimanya sama dengan jabatan yang diimpikannya selama ini atau pasrah menrima apa adanya tanpa sambutan yang eksistensial. Apakah seorang calon pendeta itu pernah mempergumulkan bahwa pilihannya adalah tepat atau sebaliknya salah pilih. Pertanyaan eksistensial ini dilihat sedemikian penting ketika siswa dan mahasiswa Teologia itu melamar atas kehendak sendiri tanpa seleksi dari Pimpinan Gerejanya (HKBP) sejak dibukanya S.Th.M. di Sipoholon 1950. Apakah rupanya beda “tohonan” (jabatan) hapanditaon dari “pangkat”, jabatan lainnya, yang tersedia di dunia wiraswasta, birokrasi pemerintahan, dll? Bagaimana mereka memahami dirinya sebagai pendeta yang sarat dengan kekuatan-kekuatan di atas dirinya. Sebagai anggota keluarga Batak dan etnis Batak dia berada di bawah kuasa-kuasa: penguasa/raja, patriarkhalisme Batak ( sahala ) dan birokrasi.
10.1.Martin Luther (1483-1546).
Martin Luther pada tahun-tahun 1510an pernah mempergumulkan jabatan imam yang bakal diterimanya sebagai anggota sebuah ordo di gerejanya Gereja Katolik Roma. Pergumulannya itu sekaligus membawa gerejanya ke era baru, era reformasi. Pengelaman barunya tentang pembenaran dan ajaran tentang Injil dan Taurat telah menajdi tema sentra dari Abad Reformasi. Tetapi masa M.Luther diajarkan, bahwa seorang yang diganggu oleh perasaan keberdosaannya, kepadanya hanya dikatakan, bahwa dia hanya boleh menaruh kepepercayaannya kepada Allah. Luther tidak diberi kepastian menerima keselamatan dan merindukan hal itu tidaklah wajar. Orang harus terbiaa hidup antara ketakutan dan pengharapan. Menjaga keseimbangan diantara keduanya itulah seni hidup. Satu-satunya calon imam dan para imam yang berhasil menemukan kepastian akan keselamatan itu ialah M.Luther melalui pergumulannya yang panjang dan melelahkan. Pertanyaan yang selalu menguasai seluruh hidupnya ialah, “Bagaimana mungkin saya boleh menerima dan menemui Allah yang beranugerah itu?” Ajaran predestinasi menununjuk jalan padanya bahwa ia tidak layak di hadapan anugerah Allah, dan karena itu ia tidak dapat tidak harus kena kutuk Allah. Luther berpikir, bahwa mungkin Allah tidak ada. Ajaran yang mengatakan bahwa apabila manusia dapat melakukan apa yang dapat ia lakukan, maka Allah tidak akan menarik anugerhaNya daripadanya. Ajaran ini pun tidak memuaskan diri Luther, karena hal itu telah mengurangi kekudusan Allah, dan lagi Luther tidak ingin melakukan jalur lama itu. Juga Alkitab yang dia baca pada awalnya tidak member jawaban memuaskan padanya. Di mana saja tertulis kata “kebenaran” telah dibaca dan dicari artinya, tetapi ia mengintarpretasikannya sebagai anugerah yang mengadili. Hasil bacaannya tentang Roma 1:17 pada awalnya diinterpretasikannya sedemikian rupa:”Karena di dalam dialah (Injil) kebenaran Allah dinyatakan bertolak dari iman dan memimpin kepada iman.” Pergumulan batinnya baru selesai ketika dia membaca Maz.71:2:”Lepaskanlah aku dan luputkanlah aku karena keadilanmu.” Kebenaran di sini diartikannya bukanlah bahwa Allah sendirilah yang memilikinya, tetapi kebenaran justru berarti, apa yang Allah curahkan kepada orang lain. Luther bersaksi :”Saya mulai mengerti di sini bahwa kebenaran Allah adalah kebenaran yang dengannya orang-orang benar hidup oleh anugerah Allah yang berbelaskasihan itu menghakimi kita oleh iman, sebagaimana tertulis, bahwa ‘Orang benar akan hidup oleh karena iman’. Kebenaran itu adalah anugerah murni, terlepas dari setiap prasyarat yang harus digenapi oleh manusia. Allah datang menghakimi orang fasik (Rm 4:5). Bukan manusia yang mencari Allah, tetapi Allahlah yang di dalam anugerahnNya yang menyelalamtkan itu mendatangi manusia. Terhadap Allah, manusia hanya pasif. Di hadapan Allah manusia tidak dapat menunukkan jasa-jasanya atau amal-amal yang sudah dia perbuat. Dia adalah seorang yang menerima tanpa mengandalkan apapun dari dirinya sendiri. Di dalam Kristus, Allah bukanlah Hakim, tetapi Bapa. Tidak ada yang dapat diperbuat manusia selain berterimakasih menerima anugerah Allah. Dan inilah iman itu. Mempunyai iman berarti tidak mendasarkan diri atas karya dan perbuatan kita, tetapi dengan rendah hati meraih tangan Allah yang Ia ulurkan kepada kita. Sama seperti seorang anak terhadap bapanya mempercayai bahwa Allah mengasihi kita. Dan ini hanya mungkin apabila Allah mengarahkan wajahNya kepada kita di dalam Kristus. Anugerah itu bukanlah murahan karena tidak mengandalkan perbuatan manusia. Iman itu sendiri bukanlah syarat pembenaran, bahkan bagi Luther iman itu sendiri adalah pemberian Allah. Manusia di hadapan Allah adalah manusia dengan tangan hampa, apa saja tidak ada yang dapat dia andalkan di hadapan Allah. Secara teologis iman tetap merupakan karya Allah.
Penjelasan M.Luther tentang pasal ketiga dari Pengakuan Iman dalam Katekhismus Kecil mengukuhkan kembali pernyataan itu, di mana Luther menulis: “ Saya percaya bahwa oleh akal saya atau kekuatan saya sendiri saya tidak dapat percaya di dalam Yesus Kristus, Tuhan saya, atau dating kepadaNya. Tetapi Roh Kudus telah memanggil saya dan menempatkan saya dalam iman yang benar.” Pengalamannya sendiri yang membawa Luther sampai pada puncak pergumulannya tentang anugerah Allah dan yakin bahwa iman seperti itu tidak dapat dia capai dengan keputusan sendiri hanya karena mata hatinya sendiri yang telah dibukakan oleh Roh Kudus untuk itu.
Ajaran tentang pembenaran, anugerah dan iman itu telah menggiring dirinya pada bidang etika yang berdasarkan anugerah itu, seperti dia tulis dalam sebuah traktatnya yang berjudul Kebebasan Kristen (1520). Rumusan dua tesis berikut dapat merangkum etika hidup M.Luther:”Seorang Kristen adalah seorang tuan yang sama sekali bebas terhadap segala sesuatu, yang tidak takluk kepada siapapun. Seorang Kristen adalah seorang yang sama sekali berugas sebagai hamba untuk semua, tunduk kepada semua.” Bagi Luther paradox ini berarti bahwa setiap orang memunyai hakekat ganda: menurut jiwanya atau kemanusiaannya yang batiniah, ia adalah hakikat spiritual, tetapi menurut kemanusiaannya yang lama dan lahiriah, ia adalah hakikat fana. Dalam terang Alkitab keduanya bertentangan satu sama lain, sama seperti kebebasan dan perhambaan. Sejauh menyangkut hakikat spiritualnya, Luther berpendapat bahwa bukan karya-karya tetapi hanya iman saja yang menjadikan manusia saleh, bebas dan diberkati. Manusia bukan hanya bersifat jiwa, tetapi bersifat badaniah. Sebagai manusia yang bersifat badaniah, manusia harus berkarya, sungguh-sungguh melaksanakan disiplin tubuh dengan berpauasa, menanti, bekerja, dan menundukkan disiplin ini kepada Roh, sehingga ia dapat taat dan menyesuaikan diri dengan manusia batiniah. Disiplin itu dikerjakan oleh karena kasih, kebebasan dan anugerah. Karya-karya yang baik dan saleh tidak pernah dapat menjadikan seseorang baik dan saleh, tetapi seorang manusia yang saleh dan baik melakukan karya-karya yang baik dan saleh. Oleh kebebasannya itulah seorang Kristen harus menjadikan dirinya pelayan bagi semua orang. Etika hidupnya berkaitan erat dengan pemahamannya mengenai pembenaran dan makna spiritual hidupnya.
Pemahaman Luther tentang panggilan (vocatio) erat hubungannya dengan pemahamannya tentang pembenaran dan makna spiritualnya. Panggilan bukan lagi sebatas kehidupan biarawan, suatu kehidupan yang dianggap lebih tinggi dari kehidupan biasa. Panggilan itu mencakup seluruh kegiatan yang mencakup manfaat bagi umat manusia. Kebenaran Allah dan pembenaran manusia semakin nyata bagi Luther melalui pemahaman yang baru tentang panggilan itu.
Untuk melaksanakan tugas panggilan yang bermanfaat bagi umat manusia maka Luther membaharui konsep tentang ekklesiologi. Ajaran tentang gereja disusun kembali dan di dalam proses itu tekanan diletakkan pada khotbah dan hal mendengarkan Injil dengan baik. Di mana firman Allah dikhotbahkan, di sana iman ditemukan dan mereka yang beriman itu mempertalikan diri dengan persekutuan orang-orang kudus ( communio sanctorium). Dan dengan kehadiran orang-orang percaya itu pada sebuah tempat tertentu, maka gereja yang tak nampak itu (ecclesia invisibilis ) menjadi gereja yang nampak ( ecclesia interna).
Dan apabila ecclesia interna itu didirikan di atas firman Allah yang dikhotbahkan itu, maka dengan sendirinya harus ada jabatan ( das Amt ) yang mengkhotbahkan firman itu. Firman Allah menjanjikan bahwa firman itu tidak bakal kembali dengan tangan yang kosong, tetapi selalu ada yang mendengar dan menerimanya. Oleh karena itu satusatunya tanda gereja ( nota ecclesia ) ialah firman itu sendiri; firman itu menandakan bahwa di sana ada gereja. Firman yang telah diterima, telah mengumpulkan orang-orang kudus . Pada tulisannya tentang “Konsili-konsili dan gereja-gereja” (1539) Luther masih mendaftarkan enam tanda-tanda gereja itu: baptisan, perjamuan kudus, pemegang kunci kekuasaan, jabatan khotbah, doa, salib dan penderitaan demi melakukan kehendak Kristus.
Ini semuanya bermuara pada pemahamannya tentang imamat am orang-orang percaya. Apabila firman itu telah membangkitkan iman di dalam hati manusia, maka dia masuk ke dalam persekutuan dengan Allah. Tidak ada kuasa yang berada di atasnya, juga kuasa bishof. Suatu hak istimewa, hak istimewa tidak dikenal persekutuan dalam Allah itu. Seorang bishof tidak ada ubahnya dengan seorang anggota persekutuan itu. Semua adalah setara di hadapan Allah. Dengan demikian dalam persekutuan itu tidak ada suatu instansi atau pribadi yang berfungsi sebagai pengantara. Jabatan imam seperti yang berlaku di Gerea Katholik tidak berlaku. Dalam imamat orang-orang percaya itu nampak bahwa setiap bakat atau kesanggupan (Gabe) yang dianugerahkan Allah kepadanya akan menjadi tugas (Aufgabe), yaitu tugas untuk mengkhotbahkan firman itu melalui kata dan perbuatan. Oleh karena itu setiap orang percaya terpanggil untuk mengkhotbahkan firman itu sesuai dengan bakat atau kesanggupannya. Bahwa di sana orang-orang percaya itu tidak mengenal suatu tingkatan kemampuan dan tingkatan kerohanian / spiritualitas, maka setiap orang percaya berhak melakukan segala bentuk pelayanan akan firman itu, termasuk melayankan firman dalam bentuk sakramen. Hal-hal inilah yang menjadi substansi dari imamat orang-orang percaya itu. Hak dan sekaligus tugas untuk memberitakan firman itu adalah inti sari dari jabatan imamat orang-orang percaya itu. Hak untuk membebaskan diri dari sistem keimaman Gereja Katolik yang dibangun sejak abad Pertengahan itu telah dirubuhkan oleh pemahaman akan imamat am orang-orang percaya. Penggolongan atas “awam”, orang biasa, dan “kleros”, kaum elit gereja ditiadakan oleh M.Luther. Jabatan kleros atau imam itu bukan bersifat abadi ( character indelebilis), yang bisa diturunkan oleh seorang bishof kepada calon imam. Jabatan imamat am orang-orang percaya mengisyaratkan bahwa setiap orang percaya punya hak dan kewajiban untuk memberitakan firman melalui kata dan perbuatan. Namun demi menjaga keteraturan dalam jemaat , maka jemaat dapat memilih dari antara orang-orang percaya menjadi pengkhotbah di depan jemaat yang melakukan ibadah minggu atau di depan umum atas nama jemaat. Dan dalam hal ini jemaat atau gereja percaya bahwa yang mengukuhkannya untuk jabatan itu adalah Tuhan Allah sendiri. Pemberitaan Injil secara pribadi tetap dilakukan oleh setiap orang percaya, tetapi secara resmi di depan jemaat/gereja dan umum ialah orang yang sudah dipilih untuk itu. Jika seorang melakukan pemberitaan Injil itu di depan public tanpa panggilan / tahbisan itu, dia sudah melakukannya atas kehendak sendiri pada hal dia tidak punya hak untuk itu, maka Tuhan Allah tidak akan berkenan atas tindakannya dan Tuhan Allah tidak memberkatinya.
Imamat am orang-orang percaya juga mengisyaratkan bahwa otoritas tertinggi dari Gereja itu adalah di tangan jemaat. Jabatan bishof yang tidak ditiadakan M.Luther dalam gereja Reformasi tidak menghilangkan hak jemaat sebagai pemegang otoritas tertinggi. Bishof bukan mengambil hak jemaat sebagai pemegang otoritas tertinggi. Pelayanan visitasi / perkunjungan pastoral seorang bishof hanya bersifat sebagai pelayanan kasih yang ingin membantu, memberdayakan jemaat-jemaat yang sedang dikunjunginya. Kehadiran bishof bukan dianggap sebagai pribadi yang menghadirkan kekuasaan di atas jemaat itu, melainkan hanya sebagai seorang pelayan yang membantu, menasehati dan memberdayakan.
10.2. Andar M. Lumbantobing (1920 - 1997).
Andar Marisitua Lumbantobing adalah pendeta HKBP yang pertama diutus HKBP studi lanjut ke mancanegara Jerman 1952-1957 ( Kirchliche Hochschule Barmen 1952-1954 dan Universitas Friedrich Wilhelm di Bonn 1954-1957 ). Beliau adalah lulusan STT Jakarta dan menerima tahbisan pendeta 1950 di HKBP Balige. Judul disertasinya “Das Amt in der Batak-Kirche” , yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja-Batak” 1996. Beliau mengajar di Fak.Teol.Univ.HKBP Nommensen, P.Siantar 1957-1964 sekaligus merangkap jabatan presiden Univ.HKBP Nommensen dan menjadi Pemimpin Umum ( kemudian disebut Bishop) GKPI 1964-1988 (24 tahun). Dalam penelitiannya beliau mempergumulkan secara teologis ilmiah perkembangan kedudukan (“Aemter”) dalam gereja Batak yang dihadapkan pada norma-norma budaya yang dijungjung tinggi oleh kaum Batak, norma-norma budaya yang pada hakikatnya sangat terikat pada sahala ni tohonan (wibawa jabatan). Jabatan-jabatan dalam gereja-gereja Batak sangat banyak dibentuk oleh kearifan local Batak tentang “sahala ni tohonan”, “wibawa jabatan”. Keterpusatan pada sahala ni tohonan pulalah inti segala permasalahan dalam adat dan norma-norma masyarakat Batak. Jatuh-bangkitnya sebuah “kampung” (daerah) dibantungkan pada rajanya, pada sahala kepemimpinannya. Demikian pula pandangan warga jemaat bahwa jatuh-bangkitnya sebuah jemaat tergantung pada pejabatnya. Tanggungjawab seorang “partohonan”, “pejabat” dinilai sangat tinggi oleh jemaat. Jabatan hapanditaon menurut A.Tobing sangat sarat terbebani oleh pandangan hidup Batak tentang sahala, wibawa, kuasa, sakramentalisme jabatan dan magis.
Andar Tobing sebagai pendeta yang melayani di HKBP Balige (1950-1952) telah membawa pengalaman sedemikian rupa. Sebagai lulusan STT Jakarta beliau dipanggil sebagai Domine (Ds) bukan sebagai Pendeta (Pdt). Panggilan Domine hanya diberikan kepada para pendeta utusan Eropa, panggilan yang merujuk pada tingkatan sahala seorang Domine lebih tinggi dari sahala seorang Pendeta lulusan Semianri Sipoholon. Bahwa beliau punya jabatan pendeta atau domine dalam hirarkhi jabatan-jabatan dalam HKBP, maka jabatan pendeta itu berada pada puncak hirarkhi itu. Banyak praktek-praktek jabatan dalam HKBP yang menunjukkan bahwa jabatan pendeta itu ibarat mahkota dari semua jabatan dalam HKBP, a.l. dalam melayankan kedua sakramen baptisan dan perjamuan kudus, pengucapakan berkat pada akhir kebaktian minggu, baju tohonan ( baju toga atau baju pandidi ), liturgy pentahbisan yang beda dari cara peneguhan jabatan lainnya. Acara peneguhan jabatan guru diadakan baru 1938 di bawah pimpinan Seminari Sipoholon pendeta utusan H.F. de Kleine. Dalam Agenda Gereja Batak 1904 terdapat dua formulir peneguhan, yaitu untuk pendeta dan untuk penatua. Dalam Agenda 1904 disebutkan bahwa Yesuslah yang menetapkan jabatan pendeta itu dan Dia telah menyerahkannya kepada mereka yang menyusul. Sisispan ini dibuat oleh penyusunnya, Jung dan Steinsieck, yang sangat dioengaruhi oleh pemikiran tentang suksesi (pewarisan). Pemahaman ini bersifat sacramental, artinya jabatan kependetaan itu harus diwariskan oleh seorang partohonan, pejabat kepada yang lain dengan penumpangan tangan. Agenda 1904 (tahun pencetakan dari naskah 1903) telah direvisi 1939 oleh H.F.de Kleine dan Mueller dan telah menghilangkan pemikiran tentang seksesi yang bersifat sacramental itu. Upaya itu dilakukan untuk menutup jalan bagi pemahaman pentahbisan tohonan hapandiatoan itu sebagai suatu upacara pelimpahan sahala ilahi yang terus jadi miliknya. Jabatan pendeta adalah ibarat puncak dari segala sahala yang dimiliki oleh para pejabat gereja di HKBP.
Bagi Pdt Andar Lumbantobing realitas ini adalah masalah teologis dan social di HKBP dan gereja-gereja “Batak” lainnya. Dan dalam disertasi beliau, salah satu jalan untuk keluar dari masalah itu ialah merubah pola pikir setiap pejabat di gereja-gereja Batak ( sintua, evangelis, guru, pendeta, bibelvrouw dan diakones). Beliau berangkat dari pemahaman tentang “Raja Gereja”, yaitu Yesus Kristus. Setiap partohonan itu mestinya melihat jabatannya dari bobotnya sebagai pelayan atau “hamba” dari “Raja Gereja”. Dari segi pandangan tentang “sahala”, satu-satunya golongan bagi kaum Batak yang dianggap tanpa sahala ialah “hatoban”.
10.3. Pendeta HKBP .
Pergumulan Martin Luther dan Andar Lumbantobing adalah pergumulan yang diwariskan kepada kita sebagai “partohonan”, “pejabat” di HKBP. Dasar warisan itu tercermin pada rumusan-rumusan teologis-dogmatis resmi di HKBP. Pemahaman M.Luther tentang imamat am semua orang percaya sebagai jabatan orang-orang percaya tercermin dan tertulis pada Pasal 9 Konfesi HKBP 1952 dan 1996.
Pasal 9 Konfesi HKBP 1952 “Pahalado Ni Huria”, “Tentang Pelayan-Pelayan Gereja”: “Kita percaya dan menyaksikan: Tiap-tiap oang Kristen terpanggil menjadi saksi Kristus. Dan untuk menunaikan pekerjaan-pekerjaan di tengah-tengah Gereja, Allah memanggil di dalam Gereja, pelayan-pelayan sesuai dengan tugas Kristus yang tiga itu: Nabi, Imam dan Raja. 1 Kor.12:28.”
Ada lima ragam pekerjaan-pekerjaan yang dilayankan itu:1.memberitakan Injil;2.melayankan sakramen Pembaptisan dan Perjamuan Kudus;3.menggembalakan anggota-anggota jemaat;4.menjaga kemurnian ajaran, melakukan tuntunan jiwa, melawan ajaran-ajaran sesat; 5 melakukan pekerjaan diakonia. Buat melakukan pekerjaan yang beragam itu, Gereja mengangkat Rasul, Nabi, Evangelis, Gembala, Pengajar, dan Diakon (Ef4:11;Kis 6). Rumusan di atas mencerminkan pemahaman Luther tentang jabatan yang satu itu, jabatan imamat orang-orang percaya.
Pasal 9 Konfesi HKBP 1996 tentang “Parhalado Huria”, “Majelis Jemaat” menampilkan rumusan yang lebih komprehensip: ”Kita mempercayai dan menyaksikan: Semua orang Kristen, laki-laki atau perempuan, terpanggil untuk menjadi saksi Kristus di dunia ini, selaku kaum yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, kaum yang dipimpin oleh Kristus untuk memberitakan pendamaian yang dilakukan Kristus, yang memanggil Gereja dari kegelapan ke terang. Jabatan gerejawi semua orang Kristen adalah jabatan pelayanan. Tetapi untuk memelihara pelaksanaan pelayanan di tengah Gereja, Allah memanggil pelayan jemaat melalui Gereja untuk bekerja sesuai dengan tiga jabatan Kristus, yaitu nabi, imam, raja (1 Kor2:28;1 Tim 6:5; Yoh 1:49; 1 Petr 2:9).”
Ada 9 pekerjaan-pekerjaan yang dilayankan itu sebagai penampakan ketiga jabatan Kristus. Pekerjaan diakonia disebut lebih rinci: menjalankan pelayanan kasih, membebaskan orang dari berbagai kemiskinan dan kebodohan dan ikut serta melaksanakan pembangunan yang berdasarkan kebenaran dan keadilan, dan menjungjung tinggi nilai manusia selaku citra Allah (Imago Dei).
Rumusan berikutnya tidak gampang kita pahami karena menyimpan sesuatu yang paradox dari isi pasal-pasal itu : ”Dalam Gereja Reformasi, jabatan kependetaanlah yang mencakup semua jabatan yang disebut di atas. Karena itu kita menolak seseorang seseorang melayankan sakramen tanpa dia menrima tahbisan kependetaan, demikian juga seseorang yang mencari dan memakai jabatan kependetaan tanpa melalui proses yang benar (2 Kor 13:13; Kis 8:16).” Rumusan ini telah meniadakan esensi kesetaraan semua tohonan di HKBP. Rumusan ini bukan saja menampakkan tohononan hapanditaon itu jadi puncak hirakhi semua jabatan di HKBP, tetapi “mencakup semua jabatan yang disebut di atas”. Kemajemukan dan kesetraan jabatan di HKBP telah diingkari oleh pasal ini. Secara historis Luther dan gereja Lutheran zamannya hanya mengenal satu jabatan pelayanan, yaitu jabatan pendeta. Dan jabatan pendeta itu melayankan firman yang dikhotbahkan dan firman dalam kedua sakramen. Itulah keseluruhan dari tugas pelayanan seorang pelayan yang dikenal dengan jabatan pendeta. Dalam tugas pelayanan itulah tercakup seluruh ragam pelayanan seorang pendeta. Jabatan pendeta adalah salah satu dari banyak jabatan di HKBP. Dan semuanya itu adalah bagian dari satu jabatan yang ada dalam jemaat, yaitu jabatan imamat am orang-orang percaya. Kontradiksi ini perlu dicermati HKBP, supaya menegmbalikan makna dan arti jabatan itu kembali ke pada warisan lama dari M.Luther dan para pendeta HKBP terdahulu.
Pergumulan teologis dan sosiologis ( kearifan-kearifan local etnis Batak seperti sahala ) tidak pernah selesai selama kita melayankan firman Allah dalam bentuk verbal dan skramen yang dua itu.
Dalam teologi M.Luther Nampak bahwa jemaatlah instansi tertinggi dalam hirarkhi gereja. Seorang bishop berperan sebagai penasehat, pemberdaya dan penegur tanpa menggunakan kuasa yang berada di atas jemaat setempat. Sistem kongregasional (presbiterial) dan sinodal sangat kental pada pemahaman demikian. Hingga kini jemaat-jemaat dari gereja ELCA di USA punya hak mencari, menerima dan mengakhiri masa pelayanan seorang pendeta ELCA. Proses yang ditempuh seorang calon pendeta di ELCA pun sangat panjang. Seorang calon pendeta baru menerima tahbisan sebagai pendeta ketika sudah jelas siapa jemaat yang menerimanya. Kemandirian sebuah jemaat sangat kuat di Gereja ELCA. Pentahbisannya sebagai pendeta dilakukan oleh bishop di jemaat yang menrimanya. Di Gereja ELCA sistem kongragasional-sinodal tidak berbenturan dengan system episkopalnya (bishop). Proses sedemikian rupa yang mesti terjadi di HKBP sekiranya Tata gereja 1881 dijalankan secara konsekuen. Adalah tugas HKBP kini untuk memikir ulang kedudukan jemaat itu sebagai instansi yang tertinggi, karena di sanalah orang-orang percaya itu bersekutu, bersaksi dan melayani. Mereka yang diangkat oleh jemaat / gereja jadi para pelayan ( 6 jabatan pelayanan ) berangkat dari sana dan kembali ke sana. Hakekat sebuah jemaat yang mandiri ialah kalau jemaat itu tetap dianggap sebagai instansi tertinggi dalam hirarkhi gereja. Gereja adalah orangnya, itulah yang paling utama; gereja adalah gedongnya, itulahsalah satu buah iman orang-orang yang bersekutu, bersaksi dan melayani itu.
10.4. Pendeta sebagai Pemimpin.
Seorang pendeta di HKBP telah dipersiapkan jadi pemimpin di HKBP dalam segala tingkatan dan bidang. Tata Gereja HKBP 1950-2002 telah mengatur caranya bagaimana seorang pendeta ditempatkan pada bidang-bidang kepemimpinan, mulai dari jemaat,resort,distrik, hatopan dan lembaga,departemen serta pelayanan lainnya di bidang ekumene dan kemitraan.
Kemandiriannya di bidang teologi dan pembentukan kepribadian yang menunjukkan sahala hapanditaon na panditaa, yang menunjukkan wibawa kepemimpinan yang berdasarkan etika hapanditaon, dan bukan etika tohonan yang identik dengan “pangkat”, jabatan yang diraih dengan mengumpulkan banyak sahala melalui kekayaan berbentuk ilmu, uang, relasi berbau penumpukan kekuasaan hamoraon, hasangapon dan harajaon. Etika hidup seorang pendeta na marsahala panditaa ialah dia yang “harus merendahkan dirinya dalam melaksanakan tugasnya di tengah Gereja, seperti Kristus, Gembala Agung” ; “tidak cinta akan harta emas”, melainkan “pengorbanan diri” ( Konfesi 1996, Pasal 9 ).
10.5. Mencari Makna Kepemimpinan Pendeta HKBP.
Merenungkan masa jabatan hapanditaon adalah pergumulan seumur hidup dan perenungan berupa syuluran itu sudah dibiasakan sejak zaman Sending oleh para pendeta utusan. I.L.Nommensen merayakan jabatan kependataannya yang ke-25 tahun (13 Oktober 1861 – 13 Oktober 1886). Beliau telah ditahbiskan, diordinasi jadi “Pendeta Utusan untuk bangsa-bangsa kafir” ( “die Ordination zum evangelischen Missionsdienste unter heidnischen Voelker”) . Berdasarkan pentahbisan ini ( “Weihe”), I.L.Nommensen diakui oleh Deputi RMG sebagai misionaris tahbisan (“ordinierter Missionar”) dan diutus untuk dinas Injili ke Hindia Belanda.
Salah satu objek perenenungan itu ialah motivasi yang mendorong seseorang ingin jadi pendeta. Motivasi seseorang ketika memasuki dunia pendidikan teologia itu bisa saja tetap , tetapi bisa juga berubah. Untuk seorang pemuda HKBP seperti P.M.Sihombing motivasinya ialah keiningan menjadi tuan domine dan idolanya ialah Tuan Domine TS Sihombing. Beliau dalam renungan 25 tahun kependetaannya (1956-1981) mengingat percakapan beliau dengan sang ayah: ”Betak mulak, asa masuk ho tu singkola Domine, ai dibungka nuaeng di seminari Sipoholon. Maol do huoloi ai nuga songon na tabo na markulikuli i. Alai tarsingot ma tu rohangku muse, pangkilaanku di sada tingki dina ro sada Tuan sian India. … Ompu I Ephorus Dr.T.S.Sihombing do manghatabatakhon hata ni Tuan i. Tung songon langit nama huetong i. Tung tabo jamita dohot barita ni Tuan I, gabe hudok ma di rohangku, beha do asa boi iba songon i. … Beha do bahenon marsingkola “’Tuan’” ningku ma tu damang nahinan. … Hape ro ma nuaeng kesempatan songon I, gabe huputushon ma mangoloi pandok ni damang nahinan. Mulak ma ahu tu huta.” Motivasi awal: menjadi Tuan Domine. Motivasi akhir? P.M.Sihombing memperkenalkan identitas kependetaanya dengan “gelar” Domine: Ds.P.M.Sihombing, M.Th.
Menyambut publikasi buku kenangan 25 tahun kependataan itu, Ds.GHM Siahaan sebagai Ephorus HKBP saat itu menyampaikan harapannya (1983), bahwa seseorang wajar merenungkan tohonannya di hadapan Tuhan sebagai sumber panggilan itu, demikian Ds.GHM Siahaan ( 1917-1990 ): ”Kita perlu beroleh pengarahan baru dari firman Tuhan dalam pelayanan kita. Dengan ketaatan kepada pengarahan baru itu, sekalipun itu melalui pergumulan dengan diri kita sendiri, pelayanan kita akan memberikan kesegaran dalam pelayanan kita, dan pelayanan kita memperlihatkan daya dan upaya baru, yang disertai kuasa dari Tuhan kita.” Beliau melanjutkan bahwa, keberhasilan dan ketidak-berhasilan pelayanan itu bukanlah terutama dalam cara-cara, method-methode, system, tetapi terletak dalam motivasinya. “Motivasinya bukan dari dunia tetapi datang dari atas yang memanggil kita, yang terus menyertai dan membimbing kita dalam pekerjaan Rohkudus. Kita tidak berpegang pada prinsip yang mati, tetapi menyerahkan diri kita dibimbing oleh Tuhan dan yang memegang segala kuasa di sorga dan di bumi sampai akhir zaman.” Demikian Ds.GHM Siahaan, angkatan pendeta lulusan Sikola Domine HTS (STT) Jakarta 1937-1942.
10.6. Tonggung O.B.Simaremare (1939-1986)
Adalah salah seorang penyumbang pikiran dan renungan tentang jabatan hapanditaon dalam buku kenangkenangan 25 tahun kependetaan Pdt.P.M.Sihombing. TOB Simaremare aalah lulusan Fak.Theol. tahun 1965 dan melanjutkan studi pascasarjana ke USA dan menyesaikan studinya dengan gelar M.Th. Tulisan itu adalah sumbangan beliau 5 tahun sebelum dia meninggal dunia 24 Desember 1986 di Kampus STT-HKBP. Setiap pendeta HKBP sebaiknya kembali pada tugas pelayanan pendeta sebagaimana sudah tertuang dalam tata gereja dan konfesi HKBP serta Agenda HKBP. Dia mempelajarinya dan kemudian menemukan lima inti sari dari semua dokumen resmi itu. Pertama, HKBP tetap memegang prinsip “imamat am orang-orang percaya” (Martin Luther) dan prinsip “munus triplex”, sama seperti Kristus orang-orang percaya mempunyai tugas pelayanan sebagai nabi, imam dan raja ( Calvin). Kedua, HKBP tetap mempertahankan dan membedakan dua ragam bentuk pelayanan yakni yang utama dan yang rendah, namun keduanya dalam satu kesatuan fungsi yaitu pelayanan. Ketiga, Tugas pokok pelayan umat adalah fungsi sebagai penjaga umat atau zopheh ( Jeheskiel 3:16-21 ). Keempat, Jabatan adalah pancaran dari jabatan pelayanan Kristus di bumi ini. Jabatan dari PL telah digenapi dalam jabatan Yesus Kristus. Kelima, Jabatan pelayanan sebagai imam, nabi dan raja berlaku juga dalam jabatan pelayanan dalam Perjanjian Baru sebagaimana nyata dalam dan melalui Yesus Kristus.
Dan ketika TOB Simaremare menghadapkan jabatan haanditaon itu kepada suara Perjanjian Lama, maka dia menarik makna jabatan hapanditaon di HKBP yang dia hayati sejak dia menerima tahbisan haanditaon itu dari tahun … hingga akhir hidupnya 24 Desember 1986: “Tohonan hapanditaon itu, kini dan di sini, adalah ‘dinas Kristus’ yang melaksanakan pekerjaan dan rencana selamat Allah di dunia ini yang melampaui batas-batas ruang dan sejarah. ‘Pandita’ selalu membutuhkan pertolongan dan bimbingan Roh Tuhan dan tetap mawas diri agar misi dan pelayanannya mewujudkan firman dan kemauan Allah. Sebab ‘Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaannya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran’ (Yoh.1:14)”.
10.7. Armensius Munthe, (1934-2009)
Menyumbangkan perenungannya tentang arti dan makna “titel”, dengan “tohonan pendeta” . Dia lulusan S.Th.M. 1958 dan melanjutkan studi pasca sarjana ke Universitas Hamburg serta menyelesaikannya dengan meraih gelar Mag.Theol. 1960an. Ketika dia menulis sumbangannya ini (1981) beliau adalah Ephorus GKPS.
Dari segi historis-etimologis kata “titel” berasal bahasa Latin “titulus”, artinya gelar atau judul. Pada awalnya dipakai di lingkungan yang sangat luas, umum dan gereja. Misalnya kata “titulus honoris” artinya gelar untuk pejabat dan gelar kehormatan. Jabatan di dalam jemaat untuk guru jemaat, penilik, penatua, pendeta dll disebut dengan nama “titulus ecclesiae”. Jabatan di gereja seperti bishop disebut “titulus ordinarius”. Kemudian istilah itu digunakan di dunia ilmu pengetahuan untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan akademis, termasuk di bidang Ilmu Teologia. “Titel” dalam PB dihubungkan dengan tugas-tugas seorang rabbi, guru, nabi, diakon, dsb. Yesus sering disapa dan dinamai “Guru” . Yesus pernah mengatakan supaya setiap orang hati-hati menyebut diri seorang guru, karena hanya ada seorang guru (Mat 23:8). Maksudnya ialah Yesuslah yang mengetahui kehendak Allah yang sebenarnya dan yang mengajarkannya kepada jemaat. Pernyataan itu berupa ajakakan dan dorongan kepada para pengikutNya agar segala pengajaran harus sesuai dengan pengajaranNya dan tidak bertentangan dengan kehendak Allah. A.Munthe mengambil satu nats lagi untuk mengutarakan pemahamannya tentang guru yaitu dari Efesus 4:11-14. Yesus sendirilah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi dan guru-guru untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekrjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus. Guru mengajar dan menjadi tempat bertanya. Apa yang diajarkan dan jawaban apa yang diberikan kepada jemaat, akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Guru Yesus. Menjadi guru bagi A.Munthe bukanlah mudah. Dia mengutib nasehat Yakobus kepada jemaatnya supaya janganlah banyak diantara mereka mau menjadi guru (Yak 3:1).
Tentang gelar “Doktor Theologia”, Munthe kembali ke asal katanya dalam bahasa Latin: “doctor” yang berarti “guru”, dari kata kerja “docere”, mengajar. Nats Alkitab terjemahaman Latin menyebutkan perkataan “guru” atau “pengajar” (didaskalos) diterjemahkan dengan kata “doctor” ( Ks.13:1; 1 Tim 2:7). Semua kata “didaskalos” diterjemahkan dengan kata “doctor”. Dengan demikian setiap jemaat Perjanjian Baru mempunya “doctor”nya dan Paulus dalah seorang dari doctor itu.
Munthe melanjutkan observasinya tentang gelar “Doktor Theologia” hingga sampai pada Martin Luther. Bagi Luther istilah “Doktor” hanya berarti “guru”. Namun pergeseran arti terjadi pula pada zaman Luther sendiri, di mana gelar doctor menjadi gelar yang menunjukkan tingaktan akademis. Setiap guru di universitas harus lebih dulu meraih tingkat akademis dengan title atau gelar “Doktor”, dan sesuai dengan itulah seorang guru menarima gajinya dari pendiri universitas itu yaitu Negara atau pemerintah. Kemudian hari titel Doktor itu dapat diberikan kepada setiap orang yang menempuh studinya di dunia universitas, sekalipun nanti dia bukan mengajar di universitas. Gelar “Doktor” sejak itu bukan lagi sebutan umum untuk semua orang yang mengajar, tetapi bagi orang yang telah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Disamping titel “Doktor Theologi” berkembang juga titel “Magister” atau “Master Tehologi” di dunia pendidikan Barat zaman M.Luther. Pemakaian titel ini sampai abad ke -15 disamakan dengan titel “doctor”. Martin Luther sendiri sempat memakai titel Magister Theologiae. Dalam Perjanjian baru berbahasa Latin menerjemahkan kata “didaskalos” dengan kata “doctor” dan “magister” . Kedua kata itu ditujukan pada Yesus dan orang lain dalam Perjanjian Baru.
Secara umum A.Munthe menyampaikan harapan dan sarannya kepada setiap orang yang menyandang gelar akademis magister dan doctor theologia, agar kembali kepada arti dan makna dasarnya, yaitu sebagai guru pengajar dan tempat bertanya dan mengajarkan kehendak Allah dalam iman dan kebenaran; “melakukan penelitian karena banyak sekali liku-liku pengetahuan theologia yang tidak mungkin kita ketahui tanpa penyelidikan secara ilmiah. Marilah kita memberikan waktu kita mengadakan penyelidikan-penyelidikan selagi kita masih hidup. Pendeta yang bertitel Doktor Theologia adalah juga sekaligus guru, pengajar teologia, baik melalui khotbah, persiapan khotbah, Penelaahan Alkitab dan melalui tulisan-tulisannya.”
Dan akhirnya A.Munthe mengingatkan rekannya pendeta akan pengaruh positif dan negatif dari gelar akademis yang disandangnya. Buat Munthe titel itu bukan segala-galanya bagi seorang pendeta. Namun harus diakui bahwa titel akademis Theologia itu “dapat membantu kita di dalam tugas sehari-hari. “Seseorang yang bertitel harus bertekat untuk mempergunakan ilmunya di dalam pelayanannya sehari-hari, agar titel itu dapat dinikmati orang lain dan bukan hanya untuk pribadi sendiri.” Namun bahayanya ialah tanggapan dan harapan public bagi mereka yang menyandang titel itu sudah dioengaruhi oleh semangat mengumpulkan sahala, wibawa, kuasa, kekayaan seseorang yang menyandang gelar itu termasuk jadi menambah sahala hasangapon dari keluarga besarnya. “Orang yang bertitel sedemikian rupa sangat disukai da dihormati orang lain. Kita tidak heran kalau dewasa ini (1980an!) telah muncul umpaaa yang baru agar anak yang lahir … kiranya menjadi orang yang bertitel doctor, mester dan lain-lain.” Dan yang paling berbahaya ialah kalau pendeta yang bertitel itu hanya ingin mennjolkan dirinya sebagai pendeta berpredikat master atau doctor theologia, bagi Munthe hal itu adalah sebuah “’mala petaka’” atas dirinya sendiri, terutama kalau pekerjaannya tidak sesuai dengan titelnya. Seseorang yang sudah dianggap sanggup pada hal kenyataanya belum maka titelnya dapat mengurangi kepercayaan orang lain terhadapnya.”
Saran dan sehatnya kepada setiap pendeta dan pelayan gereja ialah agar setiap orang “memperdalam ilmu theologinya dengan belajar sendiri, membaca buku-buku dan tetap berpegang teguh pada pengajaran Alkitab. Mereka paasti diterima oleh jemaat dengan senang hati, karena jemaat tidak menilai pendetanya dari segi titelnya, melainkan dari pengalaman dan pelayanannya.”
11. Penutup: Kemandirian Jemaat .
Kemandirian HKBP sangat bergantung pada kemandirian pendeta utusan dan kemudian pendeta pribumi HKBP. Mutu kemandirian pendeta HKBP akan meningkatkan mutu kemandirian HKBP dalam melakukan tugas panggilannya di hadapan Tuhan Kepala Gereja dan ditengah jemaat dan masyarakat sekitar. Mutu kemandirian pendeta dan hirarkhi HKBP diukur dari kemampuannya menghargai dan meningkatkan mutu kemandirian jemaat-jemaat local HKBP. Demikian kesan kita setelah menulis catatan historis tentang awal dan arah kemandirian HKBP. Kemandirian HKBP yang ditopang oleh kekuatan-kekuatan: jemaat yang sejak awal sudah mandiri dalam mengurus kebutuhannya dan kemudian dilengkapi dengan sebuah majelis jemaat (sejak 1920). Dan sejak awalnya kemandirian HKBP bergantung pada kepemimpinan para pendeta utusan (1861-1940) dan dilanjutkan oleh para pendeta HKBP (1940-2011). Kepemimpinan hirarkhis-episkopal para pendeta HKBP, telah memberi kebebasan yang besar bagi mereka mulai dari jemaat hingga ke tingkat hatopan. Dari segi struktur kepemimpinan sedemikian rupa, mutu kemandirian jemaat, resort, distrik dan hatopan, demikian juga lembaga-lembaga yang mereka pimpin seperti pendidikan-pendidikan telogi dan badan usaha HKBP bergantung pada mutu kepemimpinan para pendeta.
Perhatian dan program HKBP di bidang kemandirian HKBP tidak pernah mengabaikan rencana dan program meningkatkan mutu pendidikan para calon pendetanya dan juga para pendetanya yang sedang bekerja pada setiap aras pelayanan itu. Namun hasilnya belum nampak mampu meningkatkan mutu kepemimpinan HKBP. Metode dan strategi pendidikan teologi yang kini sedang dilakukan sudah mestinya dikaji ulang, demikian pula metode dan strategi pembinaan dan pemberdayaan para pendeta HKBP. Metode dan strategi itu mestinya memerhatikan mutu dua unsur dari pendidikan dan pemberdayaan itu, yaitu teologi sebagai ilmu dan spiritualitas kependetaan itu sendiri atau istilah J.Warneck “pembangunan karakternya” supaya “pandita na panditaa”, pendeta yang berwibawa hanya oleh karena Roh Kudus, bukan karena roh beragam sahala ( harajaon, hasangapon dan hagabeon).
Satu hal yang harus diperhatikan lagi ialah mutu kemandirian jemaat HKBP yang beragam, khususnya antara jemaat di perkotaan dan jemaat di pedesaan. Jemaat di perkotaan lebih tinggi mutu kemandiriannya di bidang ekonomi dan intelektual serta wawasan, sedang jemaat-jemaat di pedesaan sangat lemah di bidang tersebut. Spiritualitas kependetaan HKBP ditantang oleh perbedaan mutu ekonomi jemaat itu, sehingga sejak 1970an semakin nampak kecenderungan bahwa seorang pendeta HKBP lebih suka menerima penempatannya di daerah-daerah perkotaan, dan berupaya menolak penempatannya di daerah pedesaan. Pemetaan HKBP atas tiga daerah sejak 1980an masih berlaku hingga kini ( pedesaan, transisi dan perkotaan ). Pendeta yang kuat spiritualitas kependetaannya tidak terpengaruh oleh factor ekonomi jemaat tersebut, dia tetap pada tujuan panggilannya menjadi pedeta yang siap ditempatkan di mana saja oleh pimpinannya. Kini timbul gejala baru bahwa jemaat-jemaat yang kemandiriannya tinggi di bidang ekonomi, jadi rebutan para pendeta HKBP, suatu gejala yang pada waktu dekat akan membahayakan perkembangan kehidupan berjemaat di HKBP. Roh materialisme yang sejak 1980an dilihat sebagai ancaman dan bahaya kini semakin nyata. Roh materialisme cenderung dapat mengalahkan roh hapanditaon HKBP, yaitu kesiapan melayani di tempat yang diberikan oleh Tuhan kepadanya melalui pimpinannya (induk, uluan).
Jemaat yang sadar akan kemandiriannya di bidang ilmu humaniora dan teologi, semakin menunjukkan kerinduannya pada kempimpinan pendetanya yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan mereka ikut menimba kekayaan isi Alkitab yang menjadi makanan dan minuman mereka sehari-hari. Mutu ilmu teologi seorang pendeta yang berpredikat sarjana teologia bahkan yang sudah pascasarjana dituntut oleh para warga jemaat di perkotaan itu; memberi jawaban yang injili terhadap maraknya ibadah-ibadah kharismatik di sekitar lingkungan mereka, sangat dirindukan oleh warga jemaat. Kemandirian kepemimpinan seorang pendeta HKBP diukur dari kemampuannya memberikan jawaban-jawaban yan tepat untuk itu. Pendeta adalah guru, doctor, magister, yang diutus oleh HKBP untuk siap memberikan jawaban-jawaban yang disampaikan oleh sesama orang-orang percaya, yang mempunyai jabatan yang sama yaitu imamat am orang-orang percaya.
Kemudian jemaat yang sadar mandiri itu semakin merindukan kehidupan berjemaat yang jauh dari konflik-konflik intern antar para pimpinan HKBP, yang adalah pendeta HKBP. Kehidupan jemaat yang penuh damai dan penuh sukacita, itulah impian mereka. Mereka semakin sadar bahwa akibat konflik para pejabat HKBP jauh lebih berbahaya dari pada konflik intern jemaat-jemaat lokal. Oleh karena itu jemaat yang semakin sadar akan kemandiriannya sebagai instansi tertinggi dalam hirarkhi gereja itu (teologis), semakin bersikap selektif terhadap pemimpin yang ditempatkan oleh hirarkhi HKBP, hirakhi yang semakin jauh dari pusat-pusat kehidupan HKBP yaitu jemaat lokal. Mereka tidak serta merta menerima penempatan dari atas, karena didorong oleh jiwa kemandirian itu jemaat ingin mengetahui dan mengenal seperti apa sosok pemimpin yang diutus itu. Kepemimpinan pendeta HKBP diukur dari kemampuannya untuk menghargai kemandirian jemaat-jemaat. Jemaat ingin hidup bersama seorang pendeta yang melayani dan bukan pendeta yang ingin memperoleh fasilitas-fasilitas yang serba ada di jemaat. Jemaat ingin hidup bersama pendeta yang mengaku bahwa dia adalah bagian dari jemaat, bukan orang asing, orang yang hanya sesaat tinggal di sana, lalu kemudian pergi. Kenikmatan persekutuan orang-orang sangat dirindukan oleh jemaat yang mandiri itu.
Jemaat yang mandiri itu semakin rindu menantikan saat di mana kemandirian jemaat itu tercantum pada tata gereja HKBP mendatang. Yang dirindukan ialah agar kontradiktif yang secara inheren melekat pada tata gereja yang presbiterial,sinodal dan episkopal itu bisa berfungsi secara konstruktif, bukan lagi mengarah pada yang destruktif antara kekuatan jemaat dan kekuatan hirarkhi jabatan kependetaan itu. Pandangan yang menganggap warga jemaat jangan dianggap “awam” ( bodoh) dan mereka yang dianggap golongan “klerus” ( pintar, berbudaya) sudah diakhiri oleh M.Luther abad ke-16. Setiap orang percaya adalah pewaris jabatan yang sama yaitu imamat am orang-orang percaya. Setiap warga jemaat memperoleh jabatan sebagai imamat yang rajani, supaya setiap warga memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Tuhan Allah, yang telah memanggil dia keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib ( 1 Petr. 2: 9 ). Mereka semuanya, warga dan pejabatnya sama di hadapan Tuhan Allah. Johannes Warneck pernah mengingat percakapannya dengan seorang Yahudi di atas sebuah kapal laut, yang dengan serius menanyakan beliau berapalah upah diterimanya bagi setiap orang yang sudah bertobat. Dan ketika teman seperjalanannya itu meningglakan kapal, dia mengucapkan kata “slamat sukses bagi bisnis Anda di Sumatra”. Ucapan selamat yang berbau sinis itu mendorongnya membuat refleksi pelayannya di jemaat (HKBP) Balige 1894-1896 sebagai berikut: “Orang bertobat? Siapa yang ingin tahu , apakah seseorang itu benar-benar bertobat? Siapakah yang ingin melihat sampai ke dalam lubuk hati terdalam seorang penyemebah berhala, kafir, yang harus mengambil keputusan sendiri untuk menjadi seorang Kristen? Tapi orang menginginkan adanya perbaikan hidup orang itu, orang sekitar dapat merasakan perubahan dalam diri orang itu; bahwa bukan hanya banyaknya orang yang masuk ke dalam jemaat, melainkan bahwa mereka dapat menunjukkan buah-buah Roh, bahwa jemaat itu bertumbuh dalam pengetahuan dan dalam tindakan-tindakannya.”
Akhirnya, jemaat yang sadar akan kemandiriannya semakin rindu hidup bersama pemimpin yang punya budaya hidup berorganisasi yang mengetahui uraian uraian tugasnya sebagai pemimpin HKBP, dan punya pola pikir dan peri laku yang mencerminkan kehidupan orang-orang percaya. Jemaat sadar bahwa dia bukan di periferi institusi gereja, tetapi pada pusatnya. Pusat pendidikan yang paling dekat kepada warga HKBP adalah jemaat-jemaat local. Memandirikan HKBP berarti memberdayakan setiap jemaat supaya mampu meningkatkan mutu pendidikan anak-anak sekolah minggu, remaja dan pemuda di sana, bukan di Kantor Pusat HKBP. Mencari pemipimpin-pemimpin HKBP bukan di mana-mana tetapi di jemaat lokal. Anak-anak jemaat masa kini di HKBP adalah warga dan pemimpin HKBP 25 tahun mendatang. Oleh karena itu segala rencana dan program gereja itu mestinya berangkat dari kebutuhan pendidikan di jemaat. Gereja itu bukan organisasinya yang hirakhis-episkopal, tetapi jemaat yang kongregasional-prebiterial-sinodal. Hirarkhi gereja yang mengerucut itu pada hakikatnya mesti berdiri terbalik, puncak hirarkhi berada di aras paling bawah. Itulah hirarkhi gereja yang melayani dan bukan hirarkhi yang harus dilayani (Mk 10:45). HKBP pascajubileum perlu memikirkan ulang pola pendidikan HKBP supaya berorientasi pada jemaat local. Di sana tersedia baik sumber tenaga, daya dan teologi. Tinggal menemukannya dan memberikan hak dan tanggungjawab jemaat yang selama ini terpinggirkan dari program HKBP .
Medan, Nopember 2011.
Kepustakaan:
1. “Aturan Dohot Paraturan Huria Kristen Batak Protestan (2002).
2. Beyerhaus, Peter, Die Selbstaendigkeit der jungen Kirchen als missionarisches Problem, Verlag der Rheinischen Missions-Gesellschaft: Wuppertal-Barmen 1959.
3. Hutatauruk, JR, Menata Rumah Allah. Kumpulan Tata Gereja HKBP, HKBP: Pearaja,Tarutung 2008.
4. Hutauruk,JR, Lihatlah Ladang-ladang yang Menguning. Pelayanan Johannes Warneck di Balige dan Toba Holbung (1894-1896), HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan: Jakarta,2011.
4. Lohse, Bernard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK Gunung Mulia: Jakarta 2004.
6. Lumbantobing, Darwin & Pasaribu, Sunggul, Tegar Dalam Badai, Teguh Mencipta Damai. Biografi, Figur dan Pandangan Teologis Ompu I Ephorus Ds.GHM Siahaan, L-Sapa: Pematangsiantar 2005.
7. Lumbantobing, Andar, Das Amt in der Batak-Kirche, Verlag der Rheinischen Missions-Gesellschaft, t.t.
8. Andar M.Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia: Jakarta,1996.
9. Schreiner, Lothar, Nommensen in Selbstzeugnissen, Verlag an der Lottbek: Ammersberg bei Hamburg, 1996.
10. Panitia Expo 1995 STT-HKBP, Bangkitkah Hai Bangsaku I.Diperlengkapi Untuk Melayani, Panitia Expo 1995 STT-HKBP: Pematangsiantar,1995.
11. Schmidt, Kurt Dietrich, Grundriss der Kirchengeschichte, Vandenhoeck & Ruprecht: Goettingen,1963.
12. Panindangion Haporseaon-Pengakuan Iman-The Confession Of Faith Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) 1951 & 1966, Kantor Pusat HKBP: Pearaja,Tarutung,2000.
13. Simarangkir,OPT, Panitia, Pandangan Kristen Batak tentang “Tohonan Hapanditaon”.Kenang-Kenangan Pada Peringatan 25 Tahun Tohonan Hapanditaon Ds.P.M.Sihombing, 24 Juni 1981,Kantor PusatHKBP: Pearaja,Terutung, t.t.
14.Warneck, Johannes, Die Erziehung der Gehilfen in der Batak-Mission (II), dalam: AMZ 1902, hlm 353-363.
15. Warneck,Johannes, Unsere batakschen Gehilfen, wie sie arbeiten und wie an ihnen gearbeitet wird, Verlag von E.Bertelsmann: Guetersloh,1908.
No comments :
Post a Comment